1.27.2009

DIANTARA DUA MUSIM


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
oleh: Danang Hidayatullah

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dapat diartikan sebagai segala hal yang baik secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat kinerja seseorang.
Secara teoritis ada 3 kelompok variable yang mempengaruhi kinerja, yaitu variabel individu, organisasi dan psikologis. Gibson dalam Yaslis Ilyas (2002:67) menjelaskannya sebagai berikut:
1) Variabel individu dikelompokkan pada sub variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis.
2) Variabel psikologis terdiri dari subvariabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi.
3) Variabel organisasi terdiri dari sub variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

Dengan menyebut variabel yang berbeda, Scott A. Snell dan Kenneth N. Wexley (A.Dale Timpe, 1992:329) mengelompokkan faktor-faktor yang menentukan kinerja ke dalam tingkat keterampilan, tingkat upaya serta kondisi eksternal. Tingkat keterampilan yang dimaksud terdiri dari kecakapan-kecakapan yang secara khusus dimiliki oleh setiap individu, seperti pengetahuan, kemampuan, kecakapan teknis dan kecakapan interpersonal. Sementara tingkat upaya merupakan motivasi yang dimiliki dan ditunjukkan oleh seseorang. Sedangkan kondisi eksternal merupakan pengaruh dari lingkungan kerja serta kondisi ekonomi global.
Dari pemaparan diatas dapat diklasifikasikan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat dijelaskan sebagai faktor yang secara hakiki terdapat dalam diri seseorang, seperti motivasi, kemampuan yang dimiliki, sikap dalam bekerja, perasaan serta emosi dalam diri seseorang termasuk kepuasan kerja yang diperoleh. Sementara faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari lingkungan pekerjaan seperti budaya organisasi, sikap dan tindakan rekan kerja juga iklim organisasi.
Sebagai tambahan, berdasarkan penelitian David McCelland (dalam A.A Anwar Prabu Mangkunegara, 2006:28) tentang pencapaian kinerja dapat disimpulkan bahwa individu-individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi untuk mencapai kinerja memiliki ciri-ciri yang intinya sebagai berikut:
a) Individu yang senang memperoleh kesesuaian timbal balik antara input-proses dan output dari kinerja yang dihasilkan.
b) Individu yang senang bekerja.
c) Individu yang senang jika diberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.
d) Individu yang selalu ingin berprestasi dalam pekerjaannya.

PENGUKURAN KINERJA

PENGUKURAN KINERJA
oleh: Danang Hidayatullah

Seperti disebutkan diatas bahwa melalui penilaian kinerja manajemen dapat mengetahui apakah hasil kinerja sudah sesuai dengan yang diharapkan. Bila pelaksanaan pekerjaan sudah sesuai maka pekerjaan itu dianggap berhasil bila belum maka akan ada langkah-langkah berikutnya. Kinerja karyawan yang dianggap kurang memuaskan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, motivasi dalam bekerja, kepuasan kerja, maupun faktor eksternal seperti hubungan rekan kerja maupun lingkungan kerja yang kurang mendukung.
Selanjutnya, untuk dapat mengetahui tingkat kinerja seseorang seperti yang dicontohkan di atas maka perlu kiranya bagi manajemen perusahaan untuk mengetahui tentang pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja sendiri dilakukan untuk mengetahui apakah selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang ditentukan, sudah tepat waktu dan sesuai dengan yang diharapkan (Wibowo, 2008:319). Oleh karena itu dalam melakukan pengukuran kinerja seseorang, diperlukan adanya pengetahuan yang memadai, memahami ukuran kinerja serta alat ukur (instrumen) yang akan digunakan.
Menurut Wibowo (2008:320), pengukuran kinerja yang tepat dapat dilakukan dengan cara:
1) Memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi;
2) Mengusahakan standar kinerja untuk menciptakan perbandingan;
3) Mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat kinerja;
4) Menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa yang perlu prioritas perhatian;
5) Menghindari konsekuensi dari rendahnya kualitas;
6) Mempertimbangkan penggunaan sumber daya;
7) Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan.

Selanjutnya, mengenai instrumen penilaian kinerja, Veitzal Rivai (2005:322) menyebut syarat-syarat berikut yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Reliabel, dimana ukuran kinerja yang digunakan harus konsisten, akurat, objektif, dapat diandalkan dan dapat digunakan kembali.
2) Relevan, dimana ukuran kinerja yang digunakan harus logis, realistis, sesuai dengan bidang pekerjaan serta sesuai antara apa yang diharapkan dengan apa yang harus dilakukan.
3) Sensitif, dimana ukuran kinerja harus memiliki perbedaan yang jelas dalam menentukan kualitas kinerja (tingkat prestasi).
4) Praktikal, dimana instrumen yang digunakan mudah digunakan, tidak rumit.

Mengenai ukuran kinerja, sebenarnya banyak ahli berpendapat tentang beragamnya ukuran kinerja tersebut. Salah satunya adalah Armstrong seperti yang dikutip oleh Wibowo (2008:327) yang membagi ukuran kinerja dalam empat tipe ukuran, yaitu ukuran uang, waktu, pengaruh dan reaksi. Ukuran uang yang dimaksud adalah berhubungan dengan sejauhmana sumber dana yang digunakan dapat digunakan secar efektif dan efisien serta dapat memaksimalkan income yang didapat. Sementara ukuran waktu yang dimaksud adalah kesesuaian antara apa yang dilakukan dengan waktu yang disediakan. Sedangkan ukuran pengaruh disandarkan pada sejauhmana dampak yang dihasilkan terhadap perilaku serta hal lainnya. Terakhir adalah ukuran reaksi yang sangat berkaitan dengan interaksi antar individu di lingkungan pekerjaan.
Berbicara mengenai pengukuran kinerja juga tidak dapat dipisahkan dengan unsur atau aspek-aspek yang biasa jadi acuan dalam mengukur kinerja seseorang. Berdasarkan penelitian Lazer dan Wikstrom di 125 perusahaan yang terdapat di USA organisasi (dalamVeitzal, 2005:324), menggambarkan bahwa variabel yang dominan digunakan dalam mengukur kinerja karyawan antara lain:
a) Pengetahuan tentang pekerjaan,
b) kepemimpinan,
c) inisiatif,
d) kualitas pekerjaan,
e) kerjasama,
f) pengambilan keputusan,
g) kreativitas,
h) dapat diandalkan,
i) perencanaan, komunikasi,
j) kecerdasan,
k) pemecahan masalah,
l) pendelegasian,
m) sikap,
n) usaha,
o) motivasi dan
p) organisasi

TUJUAN PENILAIAN KINERJA

TUJUAN PENILAIAN KINERJA
oleh: Danang Hidayatullah

Secara umum Veitzal Rivai (2005:311) menilai bahwa pada dasarnya suatu perusahaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pada dua alasan pokok, yang intinya adalah sebagai evaluasi dari kinerja karyawan di masa lalu dan sebagai alat untuk memotivasi karyawan untuk dapat mengembangkan kinerja ke tingkat yang lebih baik di masa yang akan datang. Sementara itu John F. Bache dalam A. Dale Timpe, (1992:239) berpandangan bahwa tujuan satu-satunya dari setiap penilaian kinerja seharusnya untuk memperbaiki kinerja, memberikan umpan balik tentang kualitas kinerja dan kemudian mempelajari kemajuan perbaikan yang dikehendaki dalam kinerja. Sejalan dengan pendapat diatas, A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2006:11) menegaskan bahwa tujuan penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi.
Lyman W. Porter dkk., mengemukakan bahwa banyak dari perusahaan yang menerapkan penilaian kinerja sebagai langkah untuk mendapatkan informasi dan hasil kerja karyawan dalam bentuk data yang valid. Informasi yang dimaksud diatas digunakan untuk mengidentifikasi siapa karyawan yang membutuhkan pengembangan kemampuan/keterampilan dan jenis kemampuan atau keterampilan apa yang sebenarnya dibutuhkan. Sementara data hasil kinerja karyawan sangatlah berpengaruh terhadap motivasi internal maupun eksternal karyawan. Kedua motivasi inilah yang kelak diharapkan dapat menaikkan penampilan maupun kualitas kinerja karyawan.

Mengenai implementasi perusahaan dalam penilaian kinerja juga ditunjukkan oleh hasil penelitian terhadap 115 perusahaan di Jakarta seperti ditulis dalam Veitzal (2005:311), yang memperlihatkan bahwa sebanyak 85% perusahaan menggunakan penilaian formal untuk membantu proses peningkatan kinerja (77.7%), umpan balik (85,0%), keputusan penempatan (33,7%), mengukur potensi (57,4%), kenaikan gaji (90,1%), dan untuk dokumentasi (30,2%).
Dari beberapa pandangan para ahli serta hasil penelitian diatas tentang tujuan penilaian kinerja, maka dapat dirumuskan bahwa pada hakikatnya tujuan dari penilaian kerja itu sendiri dapat disimpulkan ke dalam enam hal, antara lain:
1) Mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh tentang kinerja karyawan.
2) Sebagai acuan bagi penentuan tingkat kompensasi karyawan.
3) Menentukan penempatan posisi karyawan yang tepat (mutasi, kenaikan jabatan maupun rotasi)
4) Menentukan kegiatan pelatihan maupun pengembangan karyawan sesuai dengan kebutuhan.
5) Sebagai umpan balik bagi karyawan dalam merefleksikan hasil kerjanya.
6) Sebagai bahan evaluasi bagi kinerja organisasi secara umum.

PENILAIAN KINERJA

PENILAIAN KINERJA
oleh:Danang Hidayatullah

Noe dkk. (2003:328) mengartikan penilaian kinerja sebagai “The process through which an organization gets information on how well an employee is doing his or her job.” Sejalan dengan pendapat diatas Hall menilai bahwa penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja anggota dan usaha untuk memperbaiki unjuk kerja anggota dalam organisasi (Yaslis Ilyas, 2002:87). Sementata itu secara lebih rinci Veitzal Rivai (2005:309) mengutarakan bahwa penilaian kinerja mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran. Pendapat diatas ditegaskan oleh A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2006:10) yang mengartikan penilaian kinerja sebagai penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi.
Dari beberapa pendapat diatas maka dengan demikian penilaian kinerja dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kegiatan formal yang dilakukan perusahaan secara berkesinambungan melalui tahapan proses yang harus dilalui untuk memperoleh informasi tentang kualitas kerja seseorang dibandingkan dengan standar kerja yang ada, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan serta berfungsi sebagai alat evaluasi yang berguna baik bagi perusahaan (dalam pengambilan keputusan) maupun karyawan (sebagai refleksi kerja).
H. John Bernardin (2003:102) mengemukakan bahwa penilaian kinerja telah menjadi alat evaluasi yang penting bagi banyak organisasi dalam mengelola dan merubah kinerja pegawai, menempatkan karyawan pada posisi yang tepat serta membantu efektifitas perusahaan baik dalam hal pelayanan konsumen maupun peningkatan produk. Oleh karena itu menurutnya, dalam menentukan sistem penilaian hendaknya semua pihak (manajemen perusahaan, karyawan, bagian personalia, bahkan pelanggan sekalipun) hendaknya dilibatkan.
Keterlibatan semua pihak seperti yang diungkapkan Bernardin diatas dapat dipahami secara logika, mengingat beberapa hal berikut: Pertama, pentingnya kerjasama semua pihak dalam mewujudkan pencapaian kinerja karyawan dikarenakan output nya akan berimbas pada kinerja perusahaan secara umum. Kedua, perlu adanya rasionalisasi dan sinkronisasi antara apa yang hendak dicapai (standar kerja) dengan kemampuan yang dimiliki karyawan. Ketiga, mengukur seberapa besar tingkat kepuasan yang diperoleh semua pihak atas pencapaian kinerja yang telah dilakukan. Keempat, merumuskan bersama langkah-langkah apa yang dianggap tepat jika terdapat ketidakseimbangan input-proses maupun output dalam hal penilaian kinerja. Kelima, membudayakan komunikasi aktif dan sikap saling menghargai dengan memandang karyawan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perusahaan, bukan sekedar pekerja pasif yang tidak memiliki hak bicara.
Mengenai pentingnya komunikasi, kerjasama, saling memahami serta kekraban yang harus dibangun oleh semua pihak yang terlibat dalam rangka penilaian kinerja ini, didukung kuat oleh John F. Bache dalam A.Dale Timpe (1992:240) dimana ia menyatakan kurang sependapat dengan para ahli yang menyebut kegiatan menilai kinerja karyawan dengan kata-kata “Performance Appraisal” maupun “Performance Evaluation”. Menurutnya kata ‘penilaian’ maupun ‘evaluasi’ kuranglah tepat karena jika menekankan hanya sebatas penilaian, kita tidak akan dapat berbuat semaksimal mungkin untuk memperbaiki kinerja. Padahal menurutnya, tanggungjawab utama seorang manajer adalah membantu karyawannya berprestasi lebih baik. Sehingga cara yang lebih realistis adalah dengan mendiskusikan dan mengkaji bersama apa yang dirasakan karyawan serta hal yang berkaitan lainnya.
Pandangan tersebut sangat logis dan realistis mengingat pentingnya menjunjung nilai-nilai yang lebih demokratis dalam lingkungan perusahaan. Manajemen tidak lagi akan dianggap sebagai sosok yang superior maupun otoriter karena karyawan juga dianggap memiliki kesempatan untuk berkolaborasi dalam hal menentukan indikator-indikator pencapaian kinerja yang sejalan dengan sasaran yang akan dicapai. Dengan menekankan penilaian pada proses dan bukan hanya hasil semata, karyawan akan merasa dilibatkan secara emosional dan merasa lebih dihargai. Dampak positifnya, karyawan akan lebih bebas dalam mengungkapkan keberhasilannya dalam melakukan suatu pekerjaan. Karyawan juga dapat menilai dirinya sendiri tentang apa yang telah dikerjakan, sebesar apa usaha yang telah dilakukan, bagaimana pencapaiannya, apa langkah yang harus dilakukan selanjutnya, serta mengkorelasikan hasil yang dicapai dengan tujuan maupun sasaran yang telah ditetapkan bersama sebelumnya.
Dengan begitu sistem penilaian yang baik diharapkan akan tercipta dan dapat memuaskan semua pihak. Sistem penilaian kinerja yang baik ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Veitzal Rivai (2005:321) yang berpendapat bahwa sistem penilaian yang baik sangat tergantung pada persiapan yang baik dan memenuhi beberapa syarat berikut, yaitu bersifat praktis, memiliki standar kinerja yang jelas serta berisi kriteria yang objektif.
Selain hal diatas, Yaslis Ilyas (2002:88) juga menyebutkan ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka penilaian kinerja antara lain faktor pengamatan sebagai bagian dari proses menilai perilaku karyawan, faktor ukuran yang akan digunakan untuk mengukur kinerja yang dicapai serta faktor pengembangan yang berfungsi sebagai motivasi dan timbal balik atas apa yang telah dilakukan karyawan.
Selanjutnya Yaslis Ilyas (2002:92) juga mengungkapkan bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penilaian kinerja yang merupakan konsep dasar dari penilaian kinerja, yang mencakup:
1) Memenuhi manfaat penilaian dan pengembangan
2) Mengukur atau menilai berdasarkan perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan.
3) Merupakan dokumen legal
4) Merupakan proses formal dan nonformal.

Adapun mengenai metode yang digunakan dalam penilaian kinerja, Veitzal Rivai (2005:324) menyebutkan dua metode berikut yang lazim digunakan, yaitu:
a) Metode Penilaian Berorientasi Masa Lalu, yang menitikberatkan pada prestasi kinerja karyawan di masa lalu. Teknik-teknik yang biasa digunakan dalam metode ini antara lain: Rating Scale, Checklist, metode dengan pilihan terarah, metote peristiwa krisis, metode catatan prestasi, Field Review Method, Performance Test and Observation an Comparative Evaluation Approach.
b) Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan, yang lebih berorientasi pada bagaimana mengidentifikasi aspek-aspek perilaku karyawan pada masa yang akan datang, tantangan serta peluang yang dimiliki sehingga memungkinkan untuk diadakannya persiapan yang lebih matang dalam rangka meningkatkan keterampilan dan kemampuan karyawan. Teknik yang bias digunakan antara lain Self Appraisal, Management By Objective dan penilaian secara psikologis.

Pengertian Kinerja

PENGERTIAN KINERJA
Oleh: Danang Hidayatullah

Menurut A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2006:9) kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance yang dapat diartikan sebagai prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang. Secara lengkap kinerja karyawan diartikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya (A.A Anwar Prabu Mangkunegara, 2000:67). Ada beberapa pendapat lain mengenai pengertian dari kinerja itu sendiri, antara lain seperti disebutkan sebagai berikut:

1) Leslie dan Llyod (359) mengemukakan :“Performance refers to the degree of accomplishment of the task that make up an employees job. It reflect how well an employee is fulfilling the requirements of the job.”
2) Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan (Veitzal Rivai, 2005:309)
3) Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi pada ekonomi (Wibowo, 2008:7)
4) Kinerja adalah penampilan hasil karya anggota organisasi baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi (Yaslis Ilyas, 2002:65).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kinerja menunjukkan ukuran keberhasilan atau ketidak berhasilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya yang tercermin dalam bentuk hasil kerja. Lebih luas lagi Wibowo (2008:2) berpandangan bahwa kinerja bukan hanya menunjukkan hasil kerja yang dicapai semata tetapi juga harus dilihat sebagai sebuah proses melakukan pekerjaan mulai dari apa yang dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan hingga hasil pekerjaan tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa kinerja merupakan proses keseluruhan dalam rangka pencapaian kerja.
Untuk mengidentifikasi kinerja karyawan secara efektif, efisien dan terorganisir maka dibutuhkan apa yang disebut dengan manajemen kinerja. Dasar untuk melaksanakan manajemen kinerja adalah bahwa sesuai dengan peran dan fungsi SDM yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan serta pengendalian maka dengan adanya manajemen kinerja perusahaan dapat dengan mudah mencapai tujuan maupun sasaran yang telah disepakati.
Mengenai arti dari manajemen kinerja itu sendiri, AS Ruky seperti dikutip dalam A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2006:19) menyebutkan bahwa manajemen kinerja adalah suatu bentuk usaha kegiatan yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi untuk mengarahkan dan mengendalikan prestasi karyawan. Armstrong dalam Wibowo (2008:8) melihat manajemen kinerja sebagai sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, tim maupun individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, dan persyaratan-persyaratan atribut yang disepakati.
Lebih luas lagi A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2006:19) memandang bahwa manajemen kinerja merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian terhadap pencapaian kinerja dan dikomunikasikan secara terus menerus oleh pimpinan kepada karyawan, antara karyawan dengan atasannya langsung.
Dengan memperhatikan beberapa pandangan para pakar diatas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya manajemen kinerja merupakan pengelolaan terhadap pencapaian kinerja seseorang yang dilakukan secara sistematis sebagai sarana untuk membantu terciptanya kinerja organisasi yang baik serta sebagai umpan balik bagi seseorang tersebut maupun bagi perusahaan pada umumnya.
Adapun tujuan dari manajemen kinerja secara khusus dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fungsi strategis, administratif dan pengembangan (Noe, dkk, 2003:330). Fungsi strategis memiliki arti bahwa manajemen kinerja merupakan cara untuk menyamakan persepsi antara apa yang menjadi tujuan perusahaan dengan apa yang harus dilakukan karyawan. Fungsi administratif lebih berorientasi pada hal-hal yang berhubungan dengan penempatan karyawan, promosi serta kompensasi. Sedangkan fungsi dari pengembangan adalah sebagai acuan bagi peningkatan kemampuan/keterampilan karyawan yang dapat berupa pelatihan, seminar atau kegiatan lain yang mendukung.
Selanjutnya mengenai deskripsi dari kinerja, Yaslis Ilyas (2002:65) menyebutkan ada tiga komponen penting yang saling menopang satu sama lain, antara lain tujuan, ukuran dan penilaian.

DAMPAK DARI KEPUASAN DAN KETIDAKPUASAN KERJA

DAMPAK DARI KEPUASAN DAN KETIDAKPUASAN KERJA
oleh: Danang Hidayatullah


Maslow (1993:169) menyatakan bahwa tercapainya kepuasan seseorang terhadap sesuatu bukan berarti berhentinya keinginan. Setelah seseorang mendapatkan kepuasan tersebut, maka akan timbul keinginan-keinginan lain yang lebih tinggi untuk dapat dipuaskan. Menurut Maslow keinginan- keinginan yang baru timbul tersebut disertai dengan tingkat frustasi yang lebih tinggi pula, sejalan dengan kegelisahan dan ketidakpuasan lama yang sama.
Dari apa yang dikemukakan Maslow diatas jelas menggambarkan bahwa tidak ada ukuran yang pasti mengenai terpuaskan atau tidak terpuaskannya sesuatu pada diri seseorang. Ini dipengaruhi oleh dua hal yang saling berkaitan. Pertama, dikarenakan kebutuhan dan tingkat kepuasan setiap orang yang berbeda-beda. Kedua, karena ternyata dibalik kepuasan yang dirasa telah didapatkan oleh seseorang, tersembunyi pula rasa ketidakpuasan yang mengindikasikan adanya kepuasan yang lain yang lebih tinggi dan belum terpenuhi. Meskipun kepuasan dan ketidakpuasan pada diri seseorang itu tidak memiliki ukuran yang cukup jelas, namun beberapa pendapat di bawah ini menyebutkan dampak positif dan negatif kepuasan/ketidakpuasan terhadap pekerjaan seseorang.
Strauss dan Sayles (1981:43) memandang kepuasan kerja itu penting bagi pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri seseorang. Menurutnya seseorang yang kepuasan kerjanya tidak terpenuhi tidak pernah mencapai kematangan psikologis, bahkan dapat menyebabkan frustasi. Selain itu, kurangnya kepuasan dalam pekerjaan akan menyebabkan semangat kerja menurun, produktifitas lebih rendah dan menyebabkan lingkungan sosial tidak sehat. Lebih dalam lagi mereka berpandangan bahwa seseorang yang tidak mendapatkan pekerjaan yang memuaskan jarang mempunyai kehidupan yang benar-benar memuaskan. (Strauss & Sayles, 1981:45).
Sebaliknya, jika kepuasan kerja seseorang terpenuhi, menurut Dessler dalam Handoko (1993:194) karyawan tersebut biasanya mempunyai catatan kehadiran yang lebih baik dan kadang-kadang memiliki prestasi kerja lebih baik daripada karyawan yang tidak mendapatkan kepuasan kerja.

Empat cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan robbins, 1998 dikutip dari munandar,367
Diagram diatas menggambarkan bahwa ada empat cara seorang karyawan dalam mengungkapkan ketidakpuasan karyawan, yaitu:
1. Contrustive-destructive, dimana karyawan langsung mengekspresikan ketidakpuasannya dengan cara keluar dari perusahaan.
2. Active-contrustive, dimana karyawan memilih tetap bertahan di perusahaan dengan memberikan saran, kritik dan usaha lain dalam rangka memperbaiki kondisi yang ada.
3. Passive-destructive, dimana karyawan menunjukkan sikap acuh tak acuhnya pada pekerjaan maupun perusahaan tempatnya bekerja.
4. Passive-constructive, dimana karyawan masih menunjukkan loyalitasnya pada perusahaan meskipun dengan cara menunggu secara pasif sambil mengharapkan kondisi kembali normal (stabil) atau bahkan lebih baik.

Sejalan dengan hal diatas, hasil penelitian yang dilakukan Locke (dalam Leslie dan Lloyd :258) menyebutkan pengaruh kepuasan kerja sebagai berikut:
“One relationship that has been clearly established is that job satisfaction does have a positive impact on turnover, absenteism, tardiness, accidents, grievances and strikes.”

Diagram diatas menggambarkan bahwa faktor-faktor penentu kepuasan kerja (kompensasi, desain pekerjaan, kondisi pekerjaan, hubungan sosial antar pekerja, penghargaan, dan lainnya.) dapat berdampak pada tingkat kepuasan atau ketidakpuasan seseorang. Seseorang akan menunjukkan komitmennya untuk tetap loyal pada perusahaan jika kepuasan kerja diperolehnya, sementara ketidakpuasan akan berpengaruh pada keluarnya pegawai, tingkat kehadiran yang rendah, serta sikap negatif lainnya yang mungkin ditimbulkan akibat ketidakpuasan kerja.
Berdasarkan hasil penelitian Locke diatas, Porter dan Steers (Munandar, 365) memiliki pendapat yang sama bahwa keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaan yang disebabkan faktor ketidakpuasan seperti apa yang digambarkan diatas adalah mungkin terjadi. Namun tidak demikian halnya dengan ketidakhadiran yang lebih bersifat spontan, dimana ketidakhadiran seseorang bukanlah akibat dari ketidakpuasan melainkan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.
Adanya korelasi yang signifikan antara kepuasan kerja dengan turnover karyawan juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Mobley, Horner dan Hollingworth (Munandar, 366) yang menunjukkan bukti bahwa kepuasan kerja berkorelasi dengan pemikiran seseorang untuk meninggalkan pekerjaan.
Diagram di bawah ini menggambarkan beberapa tahapan yang dilalui seseorang sebelum mengambil keputusan untuk meninggalkan pekerjaannya akibat tidak terpenuhinya kepuasan kerja.

Dari apa yang dikemukakan diatas mengenai dampak kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap perilaku karyawan dapat disimpulkan bahwa kepuasan pada pekerjaan akan menumbuhkan motivasi seseorang untuk menyenangi pekerjaan itu sehingga pada akhinya akan tumbuh kesadaran dari dalam diri karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Lebih jauh lagi, dengan perasaan senang yang dimiliki dan didukung oleh kuatnya motivasi seseorang dalam bekerja, maka ini merupakan modal penting bagi terciptanya sumber daya manusia yang loyal, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya serta sudah dipastikan mendukung terciptanya kinerjanya ke tingkat yang lebih baik.
Sebaliknya, jika perusahaan tidak dapat memenuhi kepuasan kerja karyawan, maka berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas akan timbul berbagai sikap negatif dari karyawan yang sedikit banyak mempengaruhi terciptanya visi, misi, tujuan, sasaran atau target perusahaan secara efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan produktivitas maupun mempertahankan kinerja pegawai.
Dikarenakan jenis kebutuhan dan tingkat kepuasan kerja karyawan berbeda–beda dan berubah dari waktu ke waktu, maka disarankan agar pihak manajemen dapat mengadakan evaluasi secara simultan dengan memasukkan kegiatan pengukuran kepuasan kerja secara berkesinambungan. Menurut T. Hani Handoko (1993:194) manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja karena hal itu berdampak pada tingkat kehadiran, semangat kerja, keluhan-keluhan karyawan serta masalah personal lainnya.

Faktor Penentu Kepuasan kerja

FAKTOR PENENTU KEPUASAN KERJA
oleh:Danang Hidayatullah

Berdasarkan pendapat para ahli dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sangatlah banyak dan beragam. Ini disebabkan karena jenis kepuasan dan tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda pada setiap karyawan yang dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap kepuasan kerja, apa yang menjadi harapan mereka, kebutuhan mana yang dianggap dapat memenuhi kepuasan kerja serta ada tidaknya peluang untuk memenuhi kepuasan kerja itu sendiri. Leslie dan Lloyd (256) memandang ada lima komponen yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, yang terdiri dari:
1) Sikap teman sekerja
2) Kondisi pekerjaan
3) Sikap perusahaan
4) Benefit atau kompensasi yang didapat
5) Supervisi
Sunyoto Munandar (2001:357) juga menyebutkan jumlah yang sama (lima) mengenai faktor penentu kepuasan kerja, yaitu:
1) Ciri-ciri instrinsik pekerjaan
2) Gaji atau imbalan yang diperoleh
3) Penyeliaan (supervisi)
4) Rekan-rekan sejawat yang menunjang
5) Kondisi pekerjaan
Berbeda dengan dua pendapat diatas, Veitzal Rivai (2005:479) menyebutkan sedikitnya ada tujuh faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seseorang antara lain:
1) Isi pekerjaan
2) Supervisi
3) Organisasi dan manajemen
4) Kesempatan untuk maju
5) Gaji
6) Rekan kerja
7) Kondisi pekerjaan
Dalam menyikapi banyaknya faktor penentu kepuasan kerja ini, Luthan (dalam Husein Umar, 2008:38) menganjurkan untuk melihat faktor-faktor kepuasan kerja dengan mengacu pada JDI (Job Descriptive Index). Menurut indeks ini penyebab kepuasan kerja terdiri dari lima faktor, yaitu:
1) Pembayaran yang sesuai, seperti gaji dan upah
2) Pekerjaan itu sendiri
3) Pomosi jabatan
4) Supervisi
5) Hubungan dengan rekan kerja
Berikut akan dibahas mengenai kelima faktor diatas dalam kaitannya dengan kepuasan kerja seseorang:
1) Pembayaran yang sesuai (gaji, upah, dsb)
Sebagian besar orang masih menganggap bahwa gaji atau imbalan yang diperoleh merupakan simbol dari seberapa besar pengakuan dan penghargaan perusahaan terhadap kemampuan (skill), keahlian (competency), kualitas kinerja, serta kontribusi yang diberikan seseorang dalam pekerjaannya terhadap kemajuan perusahaan. Imbalan dalam bentuk uang –selain sebagai simbol penghargaan seperti disebutkan diatas- juga mempunyai nilai dan arti penting dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang, kebutuhan fisik khususnya Bahkan dalam tingkat sosial tertentu (kalangan menengah keatas, misalnya) orang sudah menempatkan uang untuk memenuhi kebutuhan akan refreshing maupun aktualisasi diri.
Begitu pentingnya imbalan yang diterima seseorang atas pencapaian hasil kerjanya sehingga imbalan yang didapat diharapkan adil dan sesuai dengan apa yang dipersepsikan seseorang. Pada akhirnya, reaksi seseorang terhadap tingkat penerimaan imbalan tersebut dapatlah mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Herzberg seperti dikutip oleh Munandar (361) menjelaskan bahwa jika gaji seseorang dianggap terlalu rendah, seseorang akan merasakan ketidakpuasan. Namun jika dirasakan tinggi atau sesuai harapan maka seseorang itu tidak lagi merasa tidak puas. Ini berarti bahwa faktor gaji yang ditempatkan oleh Herzberg ke dalam faktor hygiene secara nyata mampu menghilangkan ketidakpuasan kerja seseorang.
Sejalan dengan apa yang dijabarkan diatas, Myers dan Schultz mengemukakan bahwa daya tarik salah satu faktor dari pekerjaan seperti upah dapat mempengaruhi cara kerja seseorang dalam kebebasan bekerja, perhatian terhadap peran supervisi, dan lainnya. Kepuasan kerja dapat dilihat jika seseorang yang mendapatkan upah sesuai dengan harapan atau lebih tinggi dan kemudian ia kehilangan pekerjaannya dikarenakan faktor lain, maka seseorang itu lebih mementingkan mendapatkan pekerjaan lain dengan upah yang sama besar atau lebih tinggi nilainya. Ini mencerminkan bahwa kepuasan kerja yang didapat melalui imbalan yang sesuai merupakan salah satu faktor pemuas yang menjadi acuan dan bahan pertimbangan seseorang dalam rangka mencari, menentukan, dan melaksanakan pekerjaan itu sendiri.
2) Pekerjaan itu sendiri
Menurut Locke, ciri-ciri instrinsik dari pekerjan yang menentukan kepuasan kerja seseorang terdiri dari keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggungjawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas (Sunyoto Munandar, 2001:357). Selanjutnya, menurut Munandar (2001:357) berdasarkan survei diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang berkaitan dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan, seperti diuraikan berikut ini:
a) Keragaman keterampilan.
Ciri ini menekankan bahwa semakin banyak keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan suatu pekerjaan, maka akan dapat meminimalisir tingkat kejenuhan seseorang. Selain itu, semakin banyak keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan, maka seseorang akan merasa tertantang dan termotivasi untuk dapat menguasai keterampilan tersebut sehingga ia dapat bekerja sesuai dengan tuntutan pekerjaannya. Menurut Herzberg dalam Gouzali Saydam (2000:246), suatu pekerjaan yang disenangi dan menantang dapat menimbulkan kegairahan seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
b) Jati diri tugas.
Ciri ini mengisyaratkan sejauh mana tugas merupakan sesuatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas dalam sebuah perusahaan akan dianggap berarti dan memiliki nilai yang sama jika tugas tersebut dianggap sebagai satu kesatuan tugas yang tidak dapat dipisahkan dengan pekerjaan secara umum. Contohnya adalah pada perusahaan konveksi, dimana pekerjaan utamanya adalah menyelesaikan pakaian jadi secara utuh. Untuk menghasilkan seperangkat pakaian yang utuh, manajemen perusahan telah membagi pekerjaan tersebut ke dalam beberapa divisi/bagian yang memiliki tugas khusus seperti membuat pola, memotong, menjahit, menyetrika, dan sebagainya. Seseorang dari divisi pemotongan kain misalnya, akan mengalami ketidakpuasan kerja dikarenakan dirinya menganggap bahwa kegiatan memotong kain hanyalah bagian kecil dari pekerjaan yang besar sehingga merasa pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang akan mendapatkan perhatian khusus dari perusahaan.
c) Tugas yang penting.
Jika tugas yang diberikan kepada seseorang itu dinilai berarti dan penting bagi dirinya, maka akan timbul kepuasan kerja. Sebagai contoh seorang yang bekerja sebagai tenaga penjualan yang menganggap bahwa intensitas yang tinggi dalam mengadakan pameran produk dan bertemu kolega adalah kegiatan yang penting dan berarti dikarenakan terdapatnya peluang untuk menjual produk dalam volume yang lebih besar dan praktis.
d) Otonomi, dimana pekerjaan yang memberikan kesempatan, peluang, serta kebebasan dalam bekerja akan lebih cepat meimbulkan kepuasan kerja.
e) Pemberian balikan atau umpan balik yang seimbang atas pekerjaan yang dilakukan dapat membantu meningkatkan kepuasan kerja seseorang.
Keterkaitan ciri-ciri diatas dengan kepuasan kerja seseorang diperkuat oleh pendapat Hackman dan Oldham yang menyatakan bahwa kelima ciri tersebut menimbulkan kondisi psikologis yang kritikal yang mencakup “experienced meaningfulness of the work, experienced responsibility for outcomes of the work dan knowledge of the actual result of the work activities” (Munandar, 2001: 358). Dimana ketiga kondisi ini pada akhirnya akan berpengaruh pada motivasi, unjuk kerja, kepuasan kerja serta tingkat turnover karyawan.
3) Pomosi jabatan
Seorang karyawan yang mendapatkan kesempatan untuk menggapai karir yang lebih tinggi dengan cara diikutsertakan dalam berbagai pelatihan, pengembangan dan promosi jabatan akan merasa dihargai eksistensinya. Penghargaan berupa pengembangan diri untuk meraih prestasi dan jabatan yang lebih tinggi ini akan mempengaruhi tingkat kepuasan seseorang dalam pekerjaan.
4) Supervisi
Dalam hubungannya dengan peran supervisi, Locke membagi hubungan atasan-bawahan menjadi hubungan fungsional dan keseluruhan (Munandar, 2001:361). Hubungan fungsional yang dimaksud adalah hubungan yang lebih bersifat struktrural dimana posisi dalam pekerjaan sangat menentukan apa yang akan dikerjakan dan siapa yang akan mengerjakan suatu pekerjaan. Atasan dilihat oleh bawahan sebagai pimpinan yang harus ditaati dan diperlakukan lebih. Sementara pimpinan melihat bawahan sebagai seorang yang harus siap melakukan apa yang diperintahkan. Hubungan yang kedua, yakni hubungan keseluruhan lebih bersifat umum dimana hubungan yang dibangun dilandasi oleh adanya ketertarikan kepribadian, kesamaan pandangan, nilai, budaya maupun kultur. Menyikapi dua jenis hubungan diatas, selanjutnya Locke berpendapat bahwa kepuasan kerja dapat timbul jika kedua jenis hubungan diatas dapat terjalin dengan baik dan mengarah ke hal yang positif.


5) Hubungan dengan rekan kerja
Faktor ini dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas interaksi sosial antar karyawan yang terjalin dalam lingkungan pekerjaan. Komunikasi yang baik, kerjasama yang positif serta adanya rasa kepedulian antar sesama karyawan akan mempengaruhi tinkat kepuasan kerja seseorang. Bila interaksi yang dibangun mengalami keterpurukan maka dapat dipastikan akan timbulnya ketidaknyamanan dalam bekerja yang berimbas pada kegairahan dalam bekerja, tingkat produktifitas, serta lainnya. Jika hal ini terjadi, maka kepuasn yang diharapkan seseorang akan sulit terwujud.

Demikian kranya yang bisa penulis suguhkan dalam kaitannya dengan faktor penentu kepuasan kerja.

Kepuasan Kerja;teori-teori

TEORI KEPUASAN KERJA
oleh: Danang Hidayatullah

Berikut teori-teori tentang kepuasan kerja yang dimuat dalam Veitzal Rivai (2005:475-476), Sunyoto Munandar (354-357) dan Gouzali Saydam ( 245)
1. Teori Pertentangan/Ketidaksesuaian (Discprepancy Theory).
Teori dari Locke ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan membandingkan seberapa besar selisih antara sesuatu yang diharapkan seseorang dengan kenyataan yang ia terima atau dapatkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan dua nilai: Pertama, pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seorang individu dengan apa yang ia terima. Kedua, pentingnya apa yang diinginkan bagi individu. Menurut Locke seorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginanya dan hasil-keluarannya. Contoh dari nilai yang pertama diatas adalah seseorang akan mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi (lebih puas) jika hasil yang diterimanya melebihi dari ekspektasinya. Sedangkan untuk nilai kedua dicontohkan bahwa tambahan waktu libur akan menunjang kepuasan kerja seseorang yang menikmati waktu luang setelah bekerja, tetapi tidak akan menunjang kepuasan kerja seorang tenaga kerja lain yang merasa tidak dapat menikmati waktu luangnya, seperti halnya seorang yang kecanduan kerja (workaholic).
2. Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfaction)
Teori Kepuasan dari Lawler ini berkaitan erat dengan teori keadilan dari Adams. Menurut Lawler kepuasan seseorang sangat tergantung dari kesesuaian antara jumlah yang mereka persepsikan harus mereka terima dengan jumlah yang secara aktual mereka terima. Misalnya persepsi seorang pekerja terhadap gaji yang seharusnya ia terima berdasarkan unjuk-kerjanya dengan gaji yang sebenarnya ia peroleh. Jika gaji yang ia peroleh lebih besar dari apa yang ia persepsikan sebelumnya maka ia ia akan merasa salah dan tidak adil. Sebaliknya bila gaji yang didapatkan lebih rendah dari apa yang ia persepsikan sebelumnya, maka ia akan merasa tidak puas. Selanjutnya dijelaskan bahwa standar kesesuaian atau tidaknya apa yang mereka terima tergantung dari bagaimana persepsi mereka terhadap jumlah yang diterima pekerja lain dalam bidang yang sama sebagai pembandingnya. Selain itu standar kesesuaian yang diperoleh juga sangat tergantung kepada siapa yang dijadikan bahan perbandingannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut:
Untuk menentukan tingkat kepuasan kerja, Lawler memberikan nilai bobot kepada setiap bidang sesuai dengan nilai pentingnya bagi individu, kemudian mengkombinasikan semua skor kepuasan bidang yang dibobot ke dalam satu skor total.
3. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)
Teori proses-bertentangan dari Landy ini menyatakan bahwa terdapat keseimbangan emosional pada diri seseorang saat seseorang itu memperoleh imbalan/ganjaran pada pekerjaan mereka. Dalam arti bahwa meskipun seseorang mendapakan imbalan sesuai dengan yang diharapkannya, tidak serta merta didominasi oleh rasa puas tetapi secara emosi masih berhubungan dengan rasa ketidakpuasan itu sendiri, meskipun mungkin dalam tingkat yang tidak signifikan. Emosi yang berlawanan tersebut meskipun lebih lemah, akan terus ada dalam jangka waktu yang lama. Digambarkan jika ada seseorang yang merasa terpenuhi kepuasan kerjanya dan kemudian ia merasa senang, maka pada suatu saat jika rasa senang itu menurun orang tersebut akan merasakan sedih sebelum kembali ke normal. Ini terjadi karena adanya emosi tidak senang (emosi berlawanan) yang tanpa sadar juga berlangsung dalam diri seseorang tersebut. Jadi dari apa yang dicontohkan diatas terlihat jelas bahwa manusia sebagai individu tanpa sadar telah mempertahankan keseimbangan emosional itu sendiri.
4. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori keadilan dari Adams ini mengemukakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan seseorang sangat tergantung pada keadilan yang tercipta terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Menurut teori ini komponen utama dalam teori ini adalah input, hasil, kedilan dan ketidakadilan. Input diartikan sebagai segala sesuatu yang mendukung terciptanya kompetensi dan kinerja seseorang dalam pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman serta keahlian yang dimiliki. Sedangkan hasil segala sesuatu yang berhubungan dengan materi (gaji, tunjangan, insentif, dan kompensasi lain), status, pengembangan diri, serta aktualisasi diri. Sejalan dengan model Lawler diatas, teori ini juga menggambarkan bahwa setiap karawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil orang lain. Jika pada kenyataannya perbandingan itu dianggap cukup adil maka akan timbul kepuasan begitupun sebaliknya jika dianggap tidak adil maka akan melahirkan ketidakpuasan. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang namun masih dianggap menguntungkan bagi karyawan maka yang timbul bisa kepuasan atau ketidakpuasan.
5. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)
Menurut teori yang dikemukakan Herzberg ini kepuasan kerja dan ketidak puasan kerja adalah hal yang berbeda. Kepusn dan ketidakpuasan kerja bukanlah suatu variabel yang kontinu. Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu:
a) Faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga satisfier/instrinsik motivation, yang tediri dari kepuasan kerja, kesempatan berpestasi, pengembangan karir, peluang untuk maju, serta pengakuan orang lain.
b) Faktor pemeliharaan (maintenance factor) yan disebut dengan disatisfier/extrinsic motivation, yang terdiri dari gaji, kondisi kerja, status, supervisi serta hubungan dengan rekan kerja.
Menurut Herzberg, faktor pemuas merupakan faktor pendorong yang berasal dari dalam diri seseorang untuk dapat berprestasi. Terpenuhinya faktor pemuas dapat menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Sementara itu faktor pemeliharan diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis seta kebutuhan dasar karyawan. Jika faktor ini tidak terpenuhi, maka akan timbul ketidakpuasan. Namun jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan sepenuhnya. (Veitzal Rivai, 2005:466)

Kepuasan Kerja;Pengertian

PENGERTIAN KEPUASAN KERJA
oleh: Danang Hidayatullah


Sesuai dengan kodratnya, sebagai seorang manusia karyawan juga memiliki keinginan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhannya. Beragam kebutuhan manusia secara khusus digambarkan secara jelas oleh Maslow (lihat Veitzal Rivai, 2005:458) dalam sebuah hirarki kebutuhan. Hirarki ini menggambarkan tingkatan kebutuhan yang dimiliki manusia mulai dari kebutuhan paling mendasar, yakni kebutuhan fisik dan diikuti oleh kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, ego dan aktualisasi diri. Strauss dan Sayles (1981:43) berpendapat bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri juga erat kaitannya dengan terpenuhinya kepuasan kerja seseorang. Hal ini dinilai wajar dikarenakan orang menghabiskan sepertiga waktunya dalam pekerjaan, maka tidak mengherankan bila mereka mengharapkan pekerjaan yang dapat memuaskan berbagai macam kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas.
Pendekatan kepuasan sendiri banyak dikaitkan dengan nama-nama seperti Maslow, McGregor, Herzberg, Atkinson dan McClelland. (James Stoner:84). Herzberg dalam “Two Factor Theory” (Teori Pemeliharaan Motivasi Dua Faktor) sebagaimana dikutip oleh Gouzali Saydam (2000:245) memasukkan kepuasan kerja sebagai salah satu bagian dari faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga satisfier/instrinsik motivation, yaitu faktor yang mendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang. Selanjutnya Herzberg berpendapat bahwa suatu pekerjaan yang disenangi dan menantang dapat menimbulkan kegairahan seorang karyawan untuk melakukan pekerjaannya tersebut dengan baik.
Mengenai pengertian kepuasan kerja itu sendiri ada banyak pendapat dari para ilmuan. Rue dan Byars (256) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “an individual’s general attitude about his or her job.” Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mental seseorang terhadap pekerjaan yang dihadapinya dapat mengarah ke hal positif atau negatif sangatlah tergantung kepada tepenuhi atau tidak terpenuhinya lima komponen yang mempengaruhi kepuasan kerja itu sendiri yang antara lain terdiri dari kondisi pekerjaan itu sendiri, kerjasama dengan rekan sekerja, penghasilan yang didapat, serta peran supervisi.
Masih mengenai definisi kepuasan kerja, Siegel dan Lane (dalam Munandar, 2001:350) menerima batasan yang diberikan Locke, yaitu bahwa kepuasan kerja adalah “the appraisal of one’s job as attaining or allowing the attainment of one’s important job values, providing these values are congruent with or help fulfill one’s basic needs.” Apa yang dikatakan Locke diatas menyatakan bahwa nilai-nilai pekerjaan serta kebutuhan-kebutuhan dasar dianggap sebagai unsur yang penting dalam kepuasan kerja. Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga nilai-nilai tersebut harus sesuai atau membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang.
Howell dan Dipboye (dalam Munandar, 2001:350) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap bebagai aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, T. Hani Handoko (1993:193) melihat kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Sehingga sikap keseharian karyawan terhadap pekerjaan dan lingkungannya bisa menjadi gambaran terpenuhi atau tidak terpenuhinya kepuasan kerja karyawan tersebut atau seberapa besar tingkat kepuasan kerja yang didapat. Selanjutnya Handoko berpandangan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi kerja karyawan selain beberapa faktor lain seperti motivasi, tingkat stres, pekerjaan, sistem kompensasi, desain pekerjaaan serta hal lainnya.
Masuknya kepuasan kerja sebagai salah satu faktor penting seperti disebutkan diatas sangatlah logis dan mudah dipahami. Kepuasan karyawan atas pekerjaan yang digelutinya akan berdampak positif pada emosi dan sikap seseorang dalam melakukan dan menyelesaikan pekerjaan itu sendiri. Sementara ketidakpuasan dapat menimbukan ketidaksemangatan, kejemuan dan efek psikologis negatif lainnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa pekerjaan adalah satu kegiatan penting dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Sehingga kepuasan kerja yang didapat dalam pekerjaannya bisa jadi sangat bermakna bagi kebahagian hidup seseorang.
Husein Umar (2008:37) mengartikan kepuasan kerja sebagai perangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidak menyenangkannya pekerjaan mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa bergabungnya seseorang ke dalam sebuah organisasi tentunya membawa berbagai keinginan, kebutuhan serta hasrat yang tanpa disadari akan membentuk apa yang dinamakan dengan harapan kerja. Kesesuaian antara harapan kerja seseorang dan imbalan yang diterima inilah yang kemudian akan mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Veitzal Rivai (2005:475) menyatakan bahwa kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang besifat individual dimana tingkat kepuasan kerja setiap individu berbeda-beda sesuiai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Sebagai contoh, makin tinggi tingkat apresiasi seseorang terhadap pekerjaannya, dapat menggambarkan kesesuaian pekerjaan tersebut dengan keinginannya yang berarti pula terdapat kepuasan kerja seseorang. Dengan demikian menurutnya kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan sikap seseorang atas perasasaan senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.
Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh para pakar diatas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja pada hakikatnya menggambarkan perasaan dan sikap seseorang terhadap pekerjaannya sebagai representasi dari kesesuaian antara apa yang diharapkan dari pekerjaan, baik itu kebutuhan fisik, materi maupun psikologis dengan imbalan atau hasil yang diterimanya. Kepuasan kerja itu sendiri terlahir dikarenakan manusia sebagai individu maupun mahluk sosial dalam kehidupannya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, termasuk pemenuhan kebutuhan akan rasa puas dalam bekerja. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya kepuasan kerja pada seseorang akan mempengaruhi sikap atau mental seseorang baik dalam menjalankan pekerjaan maupun menghadapi lingkungan pekerjaan itu sendiri. Perasaan dan sikap positif seseorang seperti perasaan senang yang timbul akibat terpenuhinya kepuasan kerja akan menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang dalam menunjukkan prestasi kerjanya. Ini dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Jika seseorang merasa senang akan pekerjaannya serta kepuasan yang diharapkan sesuai dengan yang didapat maka seseorang tersebut akan merasa tidak terbebani, lebih merasa bergairah dan bangga dapat melaksanakan pekerjaannya tersebut. Sikap positif yang ditunjukkan juga akan mempengaruhi atmosfir dalam lingkungan pekerjaannya, yang berpengaruh pada perlakuan rekan kerja, pimpinan maupun manajemen perusahaan.
Pada akhirnya kebutuhan akan aktualisasi diri seseorang dalam berbagai bentuk, termasuk dalam bidang prestasi kerja baru akan dapat tercapai jika kepuasan kerja seseorang terpenuhi. Pesan penting bagi manajemen perusahaan dalam kaitannya dengan kepuasan kerja adalah bahwa selama kebutuhan yang lebih rendah dari para pekerja masih belum terpuaskan, maka akan sulit untuk untuk memotivasikan mereka dengan tingkat-tingkat kebutuhan yang lebih tinggi (Strauss dan Sayles, 1981:31). Lebih tegas lagi adalah sesuatu yang tidak mungkin jika manajemen sebuah perusahan/organisasi mengharapkan sesuatu yang lebih pada para pekerjanya tanpa melihat dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan setiap individu yang berada di dalamnya.

Sekedar Pengantar

KEPUASAN KERJA; SEBUAH PENGANTAR
Oleh: Danang Hidayatullah
Karyawan merupakan aset utama perusahaan. Sebagai sumber daya manusia yang utuh seorang karyawan tentunya diharapkan mampu untuk tetap eksis, loyal, berkembang dan tentu saja menunjukkan kualitas kerja yang baik. Karena tanpa disadari, sukses tidaknya sepak terjang sebuah perusahaan dalam kancah persaingan global, sesungguhnya berada di tangan SDM yang menjalankannya. Dengan kata lain, suksesnya kinerja sebuah perusahaan merupakan cerminan dari adanya kinerja yang bekualitas dan kerjasama yang baik dari setiap individu dalam organisasi tersebut. Namun demikian, mengharapkan setiap karyawan untuk dapat bekerja dengan baik, berprestasi, dan loyal sesuai dengan harapan manajemen perusahaan bukanlah persoalan mudah.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan manajemen dalam mengelola SDM perusahan. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi kinerja, produktivitas serta turnover karyawan, kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penyebabnya. Kepuasan kerja timbul karena pada dasarnya setiap manusia memiliki keinginan, harapan serta kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dan terpuaskan. Kepuasan kerja yang merupakan perasaaan atau emosi seseorang terhadap pekerjaan yang digelutinya, berdampak pada sikap atau perilaku karyawan dalam melakukan pekerjaan itu sendiri. Sikap positif berupa rasa senang, merasa dihargai, merasa memiliki, lebih bertanggungjawab, dan loyal pada perusahaan dapat mencerminkan telah terpenuhinya kepuasan kerja karyawan. Seseorang yang memperoleh kepuasan kerja akan dapat bekerja lebih baik, memiliki motivasi untuk berkembang dan memajukan perusahaan serta menunjukkan etos kerja yang baik Semua hal positif diatas ini akan membantu menunjang efektifitas kinerja karyawan dan juga mendorong terciptanya iklim organisasi yang baik. Iklim organisasi seperti ini sudah pasti sangatlah berarti dalam rangka membantu terciptanya visi, misi, tujuan maupun mencapai target perusahaan yang telah direncanakan. Sementara itu, karyawan yang tidak mendapatkan kepuasan kerja akan berusaha menghindar dari pekerjaannya, sering mengeluh, tidak memiliki gairah dalam bekerja, tidak dapat bekerja dengan maksimal, frustasi bahkan tidak sedikit yang memutuskan mencari pekerjaan di perusahaan lain.
Membuat karyawan tetap senang dan loyal pada perusahaan sangatlah penting. Selain untuk meningkatkan kinerja karyawan, keseimbangan dan produktivitas, hal tersebut diatas juga dirasa penting untuk menjaga efektifitas dan meminimalisir tingkat turnover karyawan yang tinggi. Sesuai dengan penjabaran diatas maka peran manajemen perusahaan dalam mengidentifikasi tingkat kepuasan kerja karyawan menjadi suatu keharusan. Sehingga dengan kegiatan tersebut manajemen diharapkan dapat mengevaluasi segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku karyawan demi membantu berjalannya fungsi SDM menjadi lebih baik.

Peran Budaya Organisasi

BUDAYA PERUSAHAAN SEBAGAI FAKTOR PENENTU KESUKSESAN PERUSAHAAN
Oleh: Danang Hidayatullah

A. Pendahuluan
Maju mundurnya sebuah organisasi adalah sangat tergantung dengan sejauh mana sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi tersebut dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan organisasi. Seperti diketahui bahwa organisasi dapat mengejar tujuan dan sasaran yang ingin dicapai secara lebih efisien dan lebih efektif dengan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama. Hal ini memiliki arti bahwa dalam menjaga kelangsungan organisasi diperlukan adanya sikap/perilaku atau yang biasa disebut budaya organisasi yang mendukung.

Perusahaan yang juga merupakan sebuah organisasi memerlukan kebersamaan ini. Selain etos kerja, disiplin serta komunikasi antara pegawai yang mesti terjalin dengan baik, perusahaan sebagai salah satu organisasi yang ada juga memerlukan apa yang disebut dengan budaya perusahaan. Budaya perusahaan lahir dan dirumuskan oleh para pendiri serta top management perusahaan untuk kemudian dianut oleh setiap komponen perusahaan.Keahlian, kreativitas, kecerdasan maupun motivasi yang tinggi dari karyawan memang merupakan unsur kredibilitas yang harus dimiliki oleh karyawan agar perusahaan dapat mencapai sukses. Namun unsur-unsur tadi menjadi belum maksimal manfaatnya bila setiap karyawan belum memiliki satu budaya yang sama. Satu budaya yang sama maksudnya adalah sebuah pola pikir yang membuat mereka memiliki persepsi yang sama tentang nilai, dan kepercayaan yang dapat membantu mereka untuk memahami tentang bagaimana seharusnya berperilaku kerja pada perusahaan dimana mereka bekerja sekarang.
Begitu pentingnya arti budaya organisasi perusahaan dalam hubungannya dengan perkembangan perusahaan, sehingga penulis akan mencoba mengungkapan sejauhmana budaya perusahaan tersebut berpengaruh terhadap kesuksesan jangka panjang perusahaan.

B. Pengertian Budaya Perusahaan
Setiap lingkungan tempat tinggal memiliki budaya yang dibuat oleh nenek moyang dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi untuk dianut dan dilestarikan bersama.
Budaya itu sendiri dapat diartikan sebagai satu set nilai, penuntun, kepercayaan, pengertian, norma, falsafah, etika, dan cara berpikir. Budaya yang ada di suatu lingkungan, sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi yang berada di dalam lingkungan tersebut.
Sementara perusahaan adalah sebuah lembaga yang terdiri dari banyak karyawan yang merupakan individu yang berasal dari latar belakang yang berbeda (lingkungan, agama, pendidikan, dll) serta memiliki kesamaan visi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan perusahaan.
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa perusahaan terdiri dari individu dengan kultur bawaan yang berbeda-beda. Kultur yang berbeda-beda itulah yang pada akhirnya harus dilebur menjadi satu budaya perusahaan. Sehingga dapat terlihat jelas bahwa budaya perusahaan yang ada merupakan cerminan perusahaan itu sendiri.
Namun ketiadaan kata atau kalimat yang menegaskan mengenai budaya yang dianut perusahaan, menyulitkan para karyawan memahami budaya perusahaan. Untuk itu perlu adanya sebuah pernyataan yang merupakan manifestasi dari budaya perusahaan yang mengungkapkan secara garis besar dalam pengertian spesifik mengenai tujuan perusahaan, dan cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengungkapan budaya perusahaan ke dalam sebuah pernyataan dapat dilakukan melalui perumusan pernyataan visi dan misi. Hanya dengan kalimat singkat, pernyataan visi dan misi dapat menyiratkan nilai, etika, prinsip, tujuan, dan strategi perusahaan. Menuliskan pernyataan visi dan misi perusahaan adalah cara yang paling efektif untuk memastikan bahwa semua karyawan dapat memahami budaya perusahaan dan mengimplementasikannya ke dalam usaha-usaha pencapaian tujuan perusahaan.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh pakar Harvard Business School, yaitu Prof. DR. John Kottler dan Prof. DR. Janes Heskett, ternyata terdapat korelasi positif di antara penerapan budaya perusahaan dengan prestasi bisnis yang dicapai oleh perusahaan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Lalu pertanyaaannya kemudian adalah: Apa sebenarnya yang dimaksud dengan budaya perusahaan ?
Sebagian besar usahawan sulit untuk menemukan kata untuk menjelaskan konsep ini, sementara ada sebagian orang yang mendefinisikan sebagai “pengalaman, cerita, kepercayaan dan norma bersama yang menjadi karakter suatu perusahaan”. Memasuki perusahaan apa saja hal pertama yang kita hadapi, adalah budaya perusahaan antara lain cara orang berpakaian, bagaimana mereka berbicara satu sama lain dan juga bagaimana kantor diatur.


C. Pembahasan
a. Pentingnya Budaya Perusahaan
Pada perusahaan yang mampu bertahan lebih dari 50 tahun, oleh para pakar bisnis dan ekonomi ditemukan 3 winning characteristic yang menjadi alasan sustainablenya yaitu: Adaptability, Innovation dan Culture.
Karakter pertama adalah Adaptability. Segala sesuatu yang ada di dunia bisnis akan selalu dan setiap saat berubah. Untuk bertahan, jelaslah bahwa perusahaan dituntut untuk memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Bahkan bilamana memungkinkan, sang pemimpin perusahaan harus mampu membaca ke arah mana perubahan ini bergerak dan sebisa mungkin mengadaptasikan perusahaannya untuk menghadapi situasi tersebut.
Sedangkan yang kedua, seperti yang sudah disebutkan diatas, adalah Innovation. Innovation bukan lagi sekedar ke arah ‘luar’ dengan menginovasi produk–produk yang dipasarkan, tapi juga ditanamkan dari ‘dalam’ perusahaan.Inovasi ke ‘dalam’ dimulai dari pembentukan prinsip dasar yang dipegang oleh perusahaan dan menjadi jiwa dalam kesehariannya. Inovasi dari dalam ini akan terus berjalan membentuk inovasi ke ‘luar’ untuk mempertahankan market yang telah dikuasai dengan meluncurkan produk–produk yang mencerminkan prinsip perusahaan tersebut dan mampu merebut hati para konsumen.
Kemudian yang terakhir adalah Corporate Culture, atau Budaya Perusahaan (Budaya Organisasi). Budaya perusahaan bukanlah sekedar peraturan tertulis, dasar operasional, atau sistematika kerja yang menjadi buku suci perusahaan. Lebih dari itu, budaya perusahaan adalah spirit d’ corp – jiwa perusahaan, yang menjiwai keseharian dan segala aktivitas dalam perusahaan anda. Sangat ditekankan pentingnya Budaya Perusahaan yang menjadi dasar dari kinerja perusahaan agar mampu berkembang dan bersaing dalam jangka panjang.
Unuk lebih memperjelas budaya perusahaan itu sendiri berikut penulis berikan salah satu contoh budaya perusahaan yang diterapkan oleh Bank Syariah Mandiri. Sebagai bank yang beroperasi atas dasar prinsip syariah Islam sudah barang tentu perusahaan ini menetapkan budaya perusahaan yang mengacu kepada sikap akhlaqul karimah (budi pekerti mulia), yang terangkum dalam lima pilar yang disingkat SIFAT, yaitu :
1. Siddiq (Integritas). Menjaga Martabat dengan Integritas.
Budaya ini mencerminkan bahwa perusahaan menanamkan sikap kepada seluruh karyawannya agar mengawali setiap langkah kerja dengan niat dan hati tulus, berpikir jernih, bicara benar, sikap terpuji dan perilaku teladan.
2. Istiqomah (Konsistensi). Konsisten adalah Kunci Menuju Sukses.
Sikap ini mencerminkan bahwa perusahaan menanamkan sikap untuk berpegang teguh pada komitmen, sikap optimis, pantang menyerah, kesabaran dan percaya diri.
3. Fathanah (Profesionalisme). Profesional adalah Gaya Kerja Kami.
Disini tergambar jelas semangat belajar berkelanjutan, cerdas, inovatif, terampil dan adil yang ditanamkan oleh perusahaan pada karyawan.
4. Amanah(Tanggung-jawab).Terpercaya karena Penuh Tanggung Jawab.
Menjadi terpercaya, cepat tanggap, obyektif, akurat dan disiplin.
5. Tabligh(Kepemimpinan). Kepemimpinan Berlandaskan Kasih-Sayang.
Selalu transparan, membimbing, visioner, komunikatif dan memberdayakan.PT.

Dengan menerapkan lima pilar budaya perusahaan diatas Bank Syariah Mandiri hadir sebagai bank yang mengkombinasikan idealisme usaha dengan nilai-nilai rohani yang melandasi operasinya. Harmoni antara idealisme usaha dan nilai-nilai rohani inilah yang menjadi salah satu keunggulan PT. Bank Syariah Mandiri sebagai alternatif jasa perbankan di Indonesia dengan segudang prestasinya.
Penerapan budaya perusahaan bukan hanya berlaku bagi lingkungan karyawan saja, tetapi juga berlaku bagi pihak manajemen dan pimpinan perusahaan. Karena budaya perusahaan menjadi semacam ''DNA kesuksesan'' maka setiap organisasi membutuhkan para pemimpin yang sekaligus seorang culture builder. Seorang pemimpin tak cukup hanya menjadi perumus visi dan strategi handal atau seorang eksekutor yang piawai, tapi ia juga harus menjadi seorang culture builder yang mumpuni.
Pengelolaan budaya perusahaan yang baik, jika setiap pekerja memahami dan melaksanakannya, pada kehidupannya sehari-hari, maupun dalam pelaksanaan pekerjaan di kantor. Untuk mendapatkan budaya kerja perusahaan yang baik, maka atasan sebagai tokoh panutan merupakan hal yang tak dapat ditawar lagi. Sebagai pimpinan, maka pimpinan harus menjadi panutan, yang dapat dimulai dari hal-hal kecil, seperti tingkat disiplin dalam bekerja. Inilah yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan yang kuat antara pegawai dan manajemen sehingga tercipta siklus saling menghargai, memiliki pandangan sama serta bahu membahu untuk mencapai tujuan dan mengembangkan perusahaan.

c. Budaya Kerja Perusahaan Yang Tersistem
Budaya kerja merupakan hal yang tak terlihat, tapi bisa ditunjukkan dari tata nilai, sikap dan perilaku yang berbeda antara pekerja di perusahaan A dengan pekerja perusahaan B. Bagaimana mendorong budaya kerja perusahaan ke arah positif, dan bagaimana setiap orang bisa merasa nyaman, karena tercipta lingkungan dengan budaya kerja yangg baik juga bagaimana agar suatu budaya kerja perusahaan dapat dikelola secara baik, dan tidak terjadi pergeseran ke arah yang negatif itu merupakan tanggung jawab semua elemen yang ada di perusahaan.
Budaya Indonesia memang sangat dipengaruhi oleh figur pimpinan, oleh karena itu pengelolaan budaya kerja di perusahaan, harus dimulai dari budaya kerja di unit kerja terkecil di perusahaan tersebut. Di sini diperlukan adanya transparansi, dan rensponsibility yang tinggi dari pimpinan.
Untuk menjaga transparansi ini, maka dalam setiap tahun sekali, setiap unit kerja (entah satu divisi atau satu bagian di perusahaan) dapat disarankan melakukan Forum Komunikasi antar para pekerja. Untuk membuat agar forum ini bermanfaat, di setiap unit kerja dipilih secara transparan siapa yang akan menjadi change agent dan change leader di unit kerja tersebut, yang dipilih secara terbuka setiap tahun sekali secara bergantian. Kemudian dibuat kuestioner, yang dikirim kepada semua anak buah untuk menilai secara terbuka bagaimana sikap dan perilaku pimpinan memimpin unit kerja tersebut, pertanyaan dilakukan dalam amplop terbuka dan amplop tetutup. Selanjutnya ada kuestioner yang dikirim kepada unit kerja lain, baik internal maupun eksternal, untuk menilai kualitas pelayanan unit kerja yang dinilai. Agar hasil tidak terkontaminasi, maka change agent bebas dari campur tangan dalam menilai/mengkonsolidasi hasil kuestioner tersebut.
Pada Forum komunikasi, hasil kuestioner tadi didiskusikan secara terbuka antara anak buah dan pimpinan, disini diperlukan seorang pimpinan yang berani menerima kritik, karena kadang-kadang hasil kuestioner sangat subyektif dan mengarah pada penyerangan atau kritik pada individu. Apabila ada hasil yang sangat negatif, maka pimpinan akan menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi, karena kadang2 diperlukan sikap atau putusan yang memang bertujuan untuk kepentingan organisasi. Disini pimpinan juga menjelaskan, bahwa tugas manajemen adalah mendorong dan memotivasi orang yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan perusahaan, yang kadang berbeda dengan tujuan seseorang. Dengan komunikasi yang baik, mampu menjelaskan, dan mampu berempati dengan keinginan anak buah, maka setelah terjadi Forum komunikasi yang kedua atau ketiga, maka hasil-hasil yang negatif semakin berkurang. Hal ini disebabkan, pimpinan berusaha sekuatnya untuk mengkomunikasikan kepada segenap jajaran dibawahnya, tentang rencana jangka pendek dan jangka panjang perusahaan, yang apabila berhasil juga akan berakibat pada kenaikan kesejahteraan pekerja.
Dengan Forum Komunikasi seperti ini, yang wajib diikuti oleh seluruh pekerja, maka setiap pekerja diharapkan mampu memahami risiko-risiko yang akan dihadapi perusahaan, apabila tujuan yang telah digariskan perusahaan tidak tercapai. Forum komunikasi ini juga dapat dilakukan antar pimpinan unit kerja, antar senior manager diperusahaan. Forum komunikasi dapat juga menyertakan keluarga dari pekerja, sehingga diharapkan pasangan pekerja memahami situasi dunia kerja pasangannya, yang dapat menumbuhkan iklim positif di rumah tangga pekerja, dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja pekerja di perusahaan.

d. Budaya Perusahan Merupakan Kunci Kesuksesan
Selama 25 tahun terakhir, terdapat tiga riset masterpiece yang mencoba mengungkap faktor-faktor yang menentukan kesuksesan perusahaan. Riset tersebut dilakukan oleh pakar manajemen terkemuka dunia, yaitu Tom Peters-Robert Waterman (1982), Jim Collins-Jerry Porras (1995), dan William Joyce-Nitin Nohria-Bruce Roberson (2002). Ada satu poin menarik dari tiga hasil riset tersebut, yaitu bahwa budaya perusahaan secara konsisten selalu muncul sebagai faktor penentu kesuksesan jangka panjang perusahaan.
Budaya perusahaan (budaya organisasi) dapat membantu perusahaan mencapai sukses. Untuk dapat memanfaatkan budaya perusahaan dengan maksimal, maka perusahaan perlu menanamkan nilai-nilai yang sama pada setiap karyawannya. Kebersamaan dalam menganut budaya atau nilai-nilai yang sama menciptakan rasa kesatuan dan percaya dari masing-masing karyawan. Bila hal ini telah terjadi, maka akan tercipta lingkungan kerja yang baik dan sehat.
Lingkungan seperti ini dapat membangun kreativitas dan komitmen yang tinggi dari para karyawan sehingga pada akhirnya mereka mampu mengakomodasi perubahan dalam perusahaan ke arah yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan memiliki peranan penting dalam membangun prestasi dan produktivitas kerja para karyawan sehingga mengarahkan perusahaan kepada keberhasilan.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan dunia yang sukses adalah perusahaan yang memiliki budaya kerja yang kuat. Terlepas dari nilai-nilai positif dan luhur yang terkandung dalam budaya yang berlaku, maksud budaya kerja yang kuat adalah seluruh komponen perusahaan mengamalkan nilai atau norma yang telah ditetapkan bersama sebagai sebuah budaya dengan komitmen yang tinggi, tanpa terkecuali.
Sebuah perusahaan dapat dianalogikan sebagai sebuah rumah tangga. Suatu rumah tangga yang baik, harus dikelola, agar masing-masing penghuni rumah, baik suami, isteri maupun anak-anak merasa betah tinggal di rumah. Rumah tangga yang baik, juga akan merupakan tempat dimana para anggota keluarga yang mendapat masalah, akan memilih menyelesaikan masalah dengan bantuan anggota keluarga, dibanding dengan mencari penyelesaian masalah diluar rumah yang kadang-kadang malah berakibat tidak baik. Budaya yang ditanamkan di dalam keluarga secara tidak langsung dapat mencerminkan keluarga itu sendiri, begitupun halnya dengan sebuah perusahaan.

D. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas ada beberapa hal yang dapat kita ambil manfaatnya dalam rangka pencapaian perusahaan menuju kesuksesan jangka panjang. Beberapa poin tersebut penulis rangkum dalam beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Budaya perusahaan (budaya organisasi) memiliki peranan penting dalam membangun prestasi dan produktivitas kerja para karyawan sehingga mengarahkan perusahaan kepada keberhasilan. Lingkungan seperti ini dapat membangun kreativitas dan komitmen yang tinggi dari para karyawan sehingga pada akhirnya mereka mampu mengakomodasi perubahan dalam perusahaan ke arah yang positif.
- Budaya perusahaan yang kokoh merupakan sumber keunggulan bersaing dan suistainability perusahaan dalam jangka panjang.
- Menuliskan pernyataan visi dan misi perusahaan adalah cara yang paling efektif untuk memastikan bahwa semua karyawan dapat memahami budaya perusahaan dan mengimplementasikannya ke dalam usaha-usaha pencapaian tujuan perusahaan.
- Untuk mencapai maksud dan tujuan yang menjadi obsesi dalam visi perusahaan, maka disusunlah budaya perusahaan sebagai pedoman perilaku bagi jajaran manajemen dan staff.
- Untuk dapat memanfaatkan budaya perusahaan dengan maksimal, maka perusahaan perlu menanamkan nilai-nilai yang sama pada setiap karyawannya.
- Penerapan budaya perusahaan dapat dioptimalkan dengan baik untuk mendukung setiap strategi baru perusahaan.


E. Penutup
Demikianlah akhir dari makalah ini yang tentunya sangat tidak terlepas dari banyaknya kekurangan dalam berbagai hal. Meskipun diatas tadi telah dibahas tentang budaya perusahaan berikut implikasinya di masa mendatang, namun masih banyak pertanyaan yang mesti di jawab oleh tiap individu dalam lingkaran perusahaan itu sendiri antara lain: Mampukah kita mencapai satu tujuan perusahaan dengan cara saling memahami, membantu, dan mengerti satu sama lain? Apakah kita mampu mengenali budaya perusahaan kita sendiri? Dan mampukan atmosfir budaya organisasi tersebut berpacu ditengah-tengah lingkungan usaha yang begitu cepat berubah? Pada akhirnya semua diserahkan kepada para pelaku di lingkungan perusahaan karena makalah ini hanya semata-mata gambaran-gambaran yang masih banyak bersifat teoritis.

Referensi:
- http://www.aimsconsultants.com/html/article1
- http://www.reindo.co.id/aboutus/budaya
- http://www.reindo.co.id/reinfokus/edisi18/budaya_perusahaan
- http://www.syariahmandiri.co.id/banksyariahmandiri/budayaperusahaan
- http://www.republika.co.id/suplemen/cetak
- http://www.tanadisantoso.com/v50/BookReview/

Konsep Dasar Penilaian Berbasis Kelas PBK

PENILAIAN BERBASIS KELAS
Oleh: Danang Hidayatullah
I. Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan peradaban sebuah bangsa. Mutu pendidikan yang baik dapat mendorong terciptanya masyarakat yang berkualitas, kreatif dan produktif hingga akhirnya mampu mencapai titik keseimbangan untuk mencapai kesejahteraan. Salah satu ciri dari mutu pendidikan yang baik adalah terciptanya proses pembelajaran yang baik pula (mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi).
Dalam kaitan tersebut diatas, penilaian berbasis kelas yang merupakan bagian dari proses pembelajaran adalah salah satu kegiatan utama yang penting untuk diperhatikan dimana penilaian hasil belajar merupakan cerminan kemajuan dan pencapaian belajar siswa. Lebih khusus lagi, dengan penilaian, guru akan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa. Oleh karena itulah penilaian hasil belajar idealnya diharapkan dapat mengungkap semua askpek domain pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) yang merupakan bagian dari penerapan KTSP, diharapkan dapat membantu terciptanya proses pembelajaran berkualitas sehingga dapat mendorong tumbuhnya kreativitas pada diri siswa. Pada bab berikut kami mencoba menguraikan tentang apa sebenarnya Penilaian Berbasis Kelas tersebut beserta aspek-aspek yang mendukung terciptanya PBK.

II. KONSEP DASAR PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)

A. Pengertian Penilaian Berbasis Kelas
Ada beberapa penjelasan mengenai Penilaian Berbasis Kelas berikut ini:
- Penilaian kelas merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk pemberian keputusan terhadap hasil belajar siswa berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya sehinga didapatkan potret/profil kemampuan siswa sesuai kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum[1].
- Penilaian berbasis kelas merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas.[2]
- Penilaian kelas adalah suatu bentuk kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran tertentu.[3]
- Penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.
Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri.[4]


Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian berbasis kelas adalah segala bentuk kegiatan guru dalam rangka pengambilan keputusan terhadap hasil belajar siswa berdasarkan tahapan (proses) kemajuan belajarnya.
PBK pada khususnya lebih berorientasi pada pencapaian kompetensi peserta didik yang menekankan bahwa proses dan hasil pembelajaran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka mengukur peta kemajuan belajar siswa. Penekanan ini memperkuat dugaan bahwa keberhasilan belajar siswa yang hanya ditentukan oleh nilai ujian akhir, bukanlah sesuatu yang signifikan.

Penilaian berbasis kelas pada KTSP mempunyai kekhasan sebagai berikut [5]:
- Mengoptimalkan kompetensi siswa
- Menerapkan berbagai macam penilaian
- Kompetensi dan indikator menjadi acuan, serta
- Berusaha memberikan profil kemapuan siswa secara lengkap.

Pengumpulan informasi dalam PBK dapat dilakukan dalam suasana resmi maupun tidak resmi, di dalam atau di luar kelas, menggunakan waktu khusus atau tidak, misalnya untuk penilaian aspek sikap/nilai dengan tes atau non tes atau terintegrasi dalam seluruh kegiatan pembelajaran (di awal, tengah, dan akhir).

B. Tujuan, Fungsi dan Manfaat PBK
Tujuan
Tujuan dari penilaian adalah untuk mengukur seberapa jauh tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan, dikembangkan dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati, diterapkan, dan dipertahankan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu penilaian juga bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.

Fungsi
Penilaian kelas memiliki fungsi sebagai berikut[6]:
Memberikan informasi sejauhmana seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi.
Mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan (sebagai bimbingan).
Menemukan kesulitan belajar peserta didik kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sebagai alat diagnosis yang membantu guru menentukan apakah seseorang perlu mengikuti remedial atau pengayaan.
Menemukan kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang sedang berlangsung guna perbaikan proses pembelajaran berikutnya.
Sebagai kontrol bagi guru dan sekolah tentang kemajuan perkembangan peserta didik.

Manfaat
Adapun manfaat penilaian berbasis kelas adalah sebagai berikut:
1. Memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi.
2. Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial.
3. Sebagai umpan balik bagi guru dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan.
4. Menjadi masukan bagi guru guna merancang kegiatan belajar.
5. Memberikan informasi kepada orangtua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan.
6. Memberi umpan balik bagi pengambil kebijakan (Diknas Daerah) dalam mempertimbagkan konsep penilaian kelas yang baik untuk digunakan

C. Teknik Penilaian PBK
Sebagaimana prinsip relevansi, dimana suatu pendidikan akan bermakana apabila kurikulum yang dipergunakan relevan (terkait) dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat[7], maka teknik penilaian yang relevanpun akan berdampak pada perkembangan siswa. Beragam teknik dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik, baik yang berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik pengumpulan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai. Penilaian kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian kompetensi yang memuat satu ranah atau lebih. Berdasarkan indikator-indikator ini dapat ditentukan cara penilaian yang sesuai, apakah dengan tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok. Untuk itu, ada tujuh teknik yang dapat digunakan, yaitu penilaian kinerja, penilaian penugasan, penilaian hasil kerja, penilaian hasil tertulis, penilaian portofolio, dan penilaian sikap[8]. Untuk lebih jelasnya tentang teknik penilaian akan dijabarkan berikut ini:
Penilaian Kinerja (performance assesment), merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas tertentu, seperti: praktek di laboratorium, praktek sholat, praktek OR, presentasi, diStandar Kompetensiusi, bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi/ deklamasi dll. Cara penilaian ini dianggap lebih otentik daripada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya.
Portofolio (portfolio), yaitu koleksi/kumpulan dari berbagai ketrampilan, ide, minat dan keberhasilan atau prestasi murid selama jangka waktu tertentu. Koleksi tersebut memberikan gambaran perkembangan murid setiap saat.
Penilaian pribadi (self assesment), dilakukan oleh murid untuk dirinya dan teman-temannya. Hasil penilaian ini dijadikan salah satu sumber penilaian guru.
Jurnal (Journal)/makalah/artikel, merupakan suatu hasil proses refleksi dimana murid berpikir tentang proses belajar dan hasilnya, kemudian menuliskan ide-ide, minat dan pengalamannya. Dengan kata lain jurnal/makalah/artikel membantu murid dalam mengorganisasikan cara berpikirnya dan menuangkannya secara eksplisit dalam bentuk gambar, tulisan dan bentuk lainnya. Hasil dari karya murid tersebut dijadikan salah satu sumber penilaian oleh Guru.
Proyek/penugasan, dilakukan dengan cara setiap murid diberikan penugasan tertentu, kemudian dikerjakan di luar kegiatan sekolah. Hasil dari proses ini dikumpulkan dan dijadikan bahan penilaian Guru.
Tes Tertulis, dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti evaluasi harian maupun bulanan dan akhir pokok bahasan. Evaluasi ini dapat berbentuk essay maupun pilihan ganda.
Tes Lisan, dilakukan guru dengan beragam cara. Diantaranya wawancara, pertanyaan penguat, presentasi, demontrasi maupun diskusi.
Objektivitas penilaian peserta didik baik terhadap teman sekelompok mereka maupun terhadap guru mata pelajaran dapat dipastikan masih sangat sulit diwujudkan mengingat tradisi kasih-mengasihani masih sangat kental dalam prilaku keseharian kita. Akibatnya, rekayasa penilaian sangat mungkin terjadi apalagi antara sesama peserta didik dan bahkan mungkin antara pendidik dan peserta didik[9].

D. Prinsip-prinsip PBK
Sebagai bagian dari kurikulum berbasis kompetensi, pelaksanaan Penilaian Berbasis Kelas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan komponen yang ada di dalamnya. Namun demikian, guru mempunyai posisi sentral dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan kegiatan penilaian. Untuk itu, dalam pelaksanaan penilaian harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut[10]:
a. Validitas
Validitas berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Dalam menyusun soal sebagai alat penilaian perlu memperhatikan kompetensi yang diukur, dan menggunakan bahasa yang tidak mengandung makna ganda. Misal, dalam pelajaran bahasa Indonesia, guru ingin menilai kompetensi berbicara. Bentuk penilaian valid jika menggunakan tes lisan. Jika menggunakan tes tertulis penilaian tidak valid.
b. Reliabilitas
Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliable (ajeg) memungkinkan perbandingan yang reliable dan menjamin konsistensi. Misal, guru menilai suatu proyek, penilaian akan reliabel jika hasil yang diperoleh itu cenderung sama bila proyek itu dilakukan lagi dengan kondisi yang relatif sama. Untuk menjamin penilaian yang reliabel petunjuk pelaksanaan proyek dan penskorannya harus jelas.
c.Terfokus pada kompetensi
Dalam pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang berbasis kompetensi, penilaian harus terfokus pada pencapaian kompetensi (rangkaian kemampuan), bukan hanya pada penguasaan materi (pengetahuan).
d. Keseluruhan/Komprehensif
Penilaian harus menyeluruh dengan menggunakan beragam cara dan alat untuk menilai beragam kompetensi atau kemampuan peserta didik, sehingga tergambar profil kemampuan peserta didik.
e. Objektivitas
Penilaian harus dilaksanakan secara obyektif. Untuk itu, penilaian harus adil, terencana, berkesinambungan, dan menerapkan kriteria yang jelas dalam pemberian Skor.
f. Mendidik
Penilaian dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran bagi guru dan meningkatkan kualitas belajar bagi peserta didik.

Selain harus memenuhi prinsip-prinsip umum penilaian, pelaksanaan Penilaian Berbasis Kelas juga harus memegang prinsip-prinsip khusus sebagai berikut[11] :
- Apapun jenis penilaiannya, harus memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui dan pahami, serta mendemonstrasikan kemampuan yang dimilikinya.
- Setiap guru harus mampu melaksanakan prosedur PBK dan pencatatan secara tepat prestasi yang dicapai siswa.

E. Pelaksanaan PBK
Penilaian dilakukan terhadap hasil belajar siswa berupa kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam KBM setiap mata pelajaran. Di samping mengukur hasil belajar siswa sesuai dengan ketentuan kompetensi setiap mata pelajaran masing-masing kelas dalam kurikulum nasional, penilaian juga dilakukan untuk mengetahui kedudukan atau posisi siswa dalam 8 level kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
Penilaian berbasis kelas harus memperlihatkan tiga ranah yaitu: pengetahuan (koknitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) Ketiga ranah ini sebaikanya dinilai proposional sesuai dengan sifat mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai contoh pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (Al-Quran, Aqidah-Akhlaq, fiqh, dan tarikh) penilaiannya harus menyeluruh pada segenap aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa serta bobot setiap aspek dari setiap materi. Misalnya kognitif meliputi seluruh mata pelajaran, aspek afektif sangat dominan pada materi pembelajaran akhlak, PPkn, seni. Aspek psikomotorik sangat dominan pada mata pelajaran fiqh, membaca Al Quran, olahraga, dan sejenisnya. Begitu juga halnya dengan mata pelajaran yang lain, pada dasarnya ketiga aspek tersebut harus dinilai.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian adalah prinsip kontinuitas, yaitu guru secara terus menerus mengikuti pertumbuhan, perkembangan dan perubahan siswa. Penilaiannya tidak saja merupakan kegiatan tes formal, melainkan juga:
1). Perhatian terhadap siswa ketika duduk, berbicara, dan bersikap pada waktu belajar atau berkomunikasi dengan guru dan sesama teman;
2). Pengamatan ketika siswa berada di ruang kelas, di tempat ibadah dan ketika mereka bermain.
Untuk memperoleh hasil penilaian, guru dapat menyiapkan intrumen penilaian yang dapat berupa:a. Soal tes tertulisb. Soal tes lisanc. Lembar observasid. Lembar portofolioe. Lembar skala sikapf. Lembar cheklistg. Lembar pedoman wawancarah. Lembar pedoman pengamatani. Lembar pedoman penelitian, dan sebagainya.


III. PENUTUP

Kesimpulan
- Penilaian Bebasis Kelas mempunyai dua tujuan utama, pertama memperoleh umpan balik untuk bahan perbaikan lebih lanjut, dan kedua bertujuan untuk menilai hasil belajar peserta didik secara berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kompetensi.
- Penilaian Bebasis Kelas menggambarkan pentingnya konsep pembelajaran kontekstual daripada tradisional dengan mencoba merubah konsep teaching orientation menjadi learning orientation (proses dan komunikasi menjadi penting)
Saran
- Dalam mengimplementasikan KTSP sebaiknya guru menggunakan penilaian berbasis kelas yang memandu sejauh mana transformasi pembelajaran di kelas. Oleh karena itu penilaian sebaiknya tidak hanya dilakukan pada akhir periode tetapi dilakukan secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran dalam arti kemajuan belajar dinilai dari proses bukan semata-mata hasil.



Referensi
- Muslich, Masnur, 2007, KTSP:Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Jakarta: Bumi Aksara.
- Mulyasa E., Dr., M.Pd., 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Ramayulis, H., Prof. Dr., 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia
- Sofyan, Ahmad, Drs., M.Pd, 2005., Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, Jakarta:Grafindo Persada
- Pusat Kurikulum Balitbang Diknas, Model Penilaian Berbasis Kelas, http://www.puskur.net/
- Yaumi, M., Artikel Pendidikan Network :Penilaian Berbasis Kelas, http://re-searchengines.com/,
- Panduan Lengkap KTSP, 2007, Yogyakarta: Tim Pustaka Yustisia
- Balitbang Diknas, Peningkatan Kemampuan Profesional dan Kesejahteraan Guru, Departemen Pendidikan Nasional, (Online) http://www.diknas.go.id/
Catatan Kaki
[1] Masnur Muslich, KTSP:Dasar Pemahaman dan Pengembangan (Jakarta: Bumi Aksara,2007), hal.78
[2] Prof. Dr. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia), hal.229.
[3] Tim Pustaka Yustisia, Panduan Lengkap KTSP (Yogyakarta:2007), hal.356.
[4] Pusat Kurikulum Balitbang Diknas, Model Penilaian Berbasis Kelas, http://www.puskur.net/
[5] Masnur Muslich,op.cit., hal.78
[6] Pusat Kurikulum Balitbang Diknas,op.cit.,hal.3
[7] Dr. E. Mulyasa, M.Pd, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya), hal.9
[8] Masnur Muslich, op.cit, hal.80
[9] M.Yaumi, Artikel Pendidikan Network :Penilaian Berbasis Kelas, http://re-searchengines.com/,
[10] Tim Pustaka Yustisia, op.cit., hal.357
[11] Drs. Ahmad Sofyan, M.Pd, dkk., Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi (Jakarta:2006), hal.6-7

KOMPETENSI PEDAGOGIK

KOMPETENSI PEDAGOGIK
Oleh : Danang Hidayatullah

I. Pendahuluan

Mutu pendidikan yang baik dapat mendorong terciptanya masyarakat yang berkualitas, kreatif dan produktif. Salah satu ciri dari mutu pendidikan yang baik adalah terciptanya proses pembelajaran yang baik pula (mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi). Sebagai dampaknya Guru yang merupakan peran sentral dalam proses pembelajaran sudah sewajarnya dituntut untuk lebih professional dalam menjalankan fungsinya. Selain hal tersebut, perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju juga menuntut profesi guru menyesuaikan diri dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Seiring dengan hal diatas komitmen pemerintah untuk menciptakan pendidikan yang lebih bermutu dan berkualitas ditandai dengan lahirnya UU No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14 Th 2005 tentang UU Guru dan Dosen, dan PP No 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam UU dan PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan kompetensi sesuai dengan bidangnya, salah satunya adalah Kompetensi Pedagogik..

II. Pembahasan

A. Kompetensi Guru.

Pentingnya guru professional yang memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (1) UUGD tersebut, kompetensi yang dimaksud memiliki arti sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang dimaksud meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.

B. Kompetensi Pedagogik


Dalam Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pada bab penjelasan pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.
Lebih lanjut pada Bab Penjelasan Pasal 28 ayat 3 PP 19tahun 2005 tentang SNP yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi:
1. Pemahaman terhadap peserta didik,
2. Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
3. Evaluasi hasil belajar, dan
4. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Berikut akan dijabarkan mengenai dimensi-dimensi dari kompetensi pedagogik tersebut:
1. Pemahaman terhadap peserta didik.
Secara umum pemahaman peserta didik dapat berarti kemampuan guru dalam memahami kondisi siswa (baik fisik maupun mental) dalam proses pembelajaran. Sehingga dengan begitu diharapkan dapat tercipta interaksi yang baik antara guru dan peserta didik dalam rangka menciptakan kegiatan belajar mengajar yang kondusif. Dalam arti guru mengetahui seluk beluk peserta didik yang diajar, menentukan metode pengajaran, bahan dan alat yang tepat sehingga memungkinkan peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui interaksi dan pengalaman belajar.
Mulyasa (2008:79) menyebutkan sedikitnya ada empat hal yang harus dipahami guru dari peserta didiknya, yaitu tingkat kecerdasan, kreativitas, cacat fisik dan perkembangan kognitif.

a. Tingkat Kecerdasan
Dalam bukunya Psikologi Pendidikan, Alisuf Sabri menyimpulkan arti dari kecerdasan (intelegensi) sebagai berikut [1]:
- kemampuan umum mental individu yang tampak dalam caranya bertindak atau berbuat atau dalam memecahkan masalah atau dalam melaksanakan tugas.
- suatu kemampuan mental individu yang ditunjukan melalui kualitas kecepatan, ketepatan dan keberhasilannya dalam bertindak/berbuat atau memecahkan masalah yang dihadapi.
Dari pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa selain ditentukan berdasakan hasil tes IQ, ternyata tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan seseorang dapat dilihat dari kecepatan, ketepatan dan keberhasilan seseorang dalam bertindak atau dalam memecahkan masalah.
Adanya perbedaan IQ atau tingkat kecerdasan tiap peserta didik sudah barang tentu menunjukkan adanya perbedaaan kemampuan pula. Perbedaaan kemampuan ini sangat mempengaruhi peserta didik dalam menerima dan menyerap pelajaran, menyelesaikan tugas-tugas, kualitas prestasi hasil belajar, maupun aktifitas lain. Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang perlu disadari oleh seorang guru. Sehingga dalam menjalankan fungsinya seorang guru dapat melayani perbedaan tersebut dengan sikap yang tepat. Diantaranya dengan memberikan kegiatan belajar yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Hingga hasilnya setiap peserta didik diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan segala masalah yang dihadapi sesuai dengan tingkat kemampuannya.

b. Kreativitas
Seperti halnya pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik, guru juga diharapkan dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dan kreativitasnya. Berdasarkan penelitiannya, Gibbs (Mulyana 2008:88) menyimpulkan bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan memberikan kepercayaaan, komunikasi yang bebas, pengarahan diri dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Apa yang dikemukakan Gibbs diatas tentunya juga harus didukung dengan kreativitas guru itu sendiri dalam menggunakan pendekatan/metode pengajaran.
Dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan kreativitas peserta didik Bahri dan Zain (2006:160) menyebutkan ada tiga aspek keterampilan guru dalam mengadakan variasi dalam proses belajar mengajar, yaitu variasi dalam gaya mengajar, dalam menggunakan media/bahan pengajaran serta variasi dalam interaksi antara guru dan siswa. Salah satu contoh metode pengajaran yang kini sering digunakan di banyak sekolah adalah metode inquiry (inkuiri), yang memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk mengeksplorasi sesuatu sesuai dengan persepsi dan kreativitas peserta didik.

c. Cacat fisik
Dalam bagian ini guru dituntut untuk dapat memahami kondisi fisik peserta didik yang memiliki keterbatasan atau kelainan (cacat). Dalam rangka membantu perkembangan pribadi mereka, sikap dan layanan yang berbeda dapat dilakukan sesuai dengan kondidi fisik yang dialami peserta didik. Misalkan jenis alat bantu/media yang berbeda bagi penyandang cacat tuna netra, mengatur posisi duduk bagi tuna rungu ataupun perlakuan khusus seperti membantu duduk bagi peserta didik yang mengalami lumpuh kaki.

d. Pertumbuhan dan perkembangan kognitif
Pada dasarnya proses belajar mengajar bertujuan menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan (pertumbuhan dan perkembangan) struktur kognitif siswa. Dalam ranah kognitif ini terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang yang terendah sampai jenjang paling tinggi,yaitu:[2]
1. Pengetahuan/hafalan/ingatan.
2. Pemahaman.
3. Penerapan.
4. Analisis.
5. Sintesis.
6. Penilaian.

Pertumbuhan dan perkembangan aspek kognitif tersebut merupakan kolaborasi antara potensi bawan dan lingkungan. Salah satu lingkungan yang mempengaruhi struktur kognitif siswa adalah pada saat terjadinya interaksi belajar mengajar. Proses pertumbuhan dan perkembangan kognitif siswa yang menuju kematangan inilah yang harus terus dipantau dan dipahami guru. Sehingga guru benar-benar dapat memahami tingkat kesulitan yang dihadapi dengan menerapkan pembelajaran yang efektif sebagai solusinya.

e. Perancangan pembelajaran.
Perancangan pembelajaran merupakan kegiatan awal guru dalam rangka mengidentifikasi dan menginventarisasi segala komponen dasar yang akan digunakan pada saat pelaksanaan pembelajaran. Sedikitnya ada tiga kegiatan yang mendukung perancangan pembelajaran ini, yaitu identifikasi kebutuhan, perumusan kompetensi dasar, dan penyusunan program pembelajaran.[3]
1. Identifikasi kebutuhan
Tahap ini merupakan tahap dimana guru melibatkan peserta didik dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber yang mendukung kegiatan belajar, hambatan yang mungkin dihadapi serta hal lainnya. Identifikasi kebutuhan bertujuan antara lain untuk melibatkan dan memotivasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan sebagai bagian dari kehidupan dan mereka merasa memilikinya. Berdasarkan identifikasi terhadap kebutuhan belajar tersebut kemudian akan dirumuskan kompetensi yang diharapkan dapat dicapai peserta didik.

2. Perumusan kompetensi dasar.
Kompetensi merupakan komponen utama yang harus dirumuskan dalam pembelajaran. Kompetensi yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap materi yang harus dipelajari, penetapan metode dan media pembelajaran serta dalam memberi petunjuk penilaian. Dengan dirumuskannya kompetensi yang akan dicapai peserta didik, diharapkan penilaian pencapaian kompetensi yang kelak akan dilakukan bersifat objektif, berdasarkan kinerja peserta didik, dengan mengacu pada penguasaan mereka terhadap suatu kompetensi sebagai hasil belajar[4]

3. Penyusunan program pembelajaran.
Kegiatan ini merupakan tahap selanjutnya sebelum menyusun Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP). RPP itu sendiri adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas.[5] Berdasarkan RPP inilah seorang guru diharapkan bisa menerapkan pembelajaran secara terprogram. Supaya RPP yang disusun bisa efektif dan efisien maka perlu dilakukan kegiatan yang mendukung berikut[6]:
- Melakukan pemetaaan kompetensi per unit.
- Melakukan analisis alokasi waktu, dan
- Menyusun program tahunan dan semester.

4. Pelaksanaan pembelajaran.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor eksternal maupun faktor internal.Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku pembentukan kompetensi peserta didik. Umumnya pembelajaran menyangkut tiga hal: pre tes, proses, dan post tes , sebagai berikut[7]:
1. Pre tes (tes awal).
Pre tes memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, yang berfungsi antara lain:
- Untuk menyiapkan peserta didik dalam proses belajar, dengan pre tes maka pikiran mereka terfokus pada soal yang harus dikerjakan.
- Untuk mengetahui kemajuan peserta didik sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan, dengan cara membandingkan hasil pre tes dengan post tes.
- Untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik mengenai kompetensi dasar yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran.
2. ProsesProses adalah sebagai kegiatan inti dari pelaksanaan pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik. Proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi dikatakan efektif apabila seluruh pesera didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosial. Kualitas pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik dapat dilihat dari segi proses dan hasil. Dari segi proses, pembelajaran dan pembentukan kompetensi dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran disamping menunjukkan gairah belajar yang tinggi, nafsu belajar yang besar dan tumbuhnya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi dan prilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya setidak-tidaknya sebagian besar (75%). Proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi dikatakan berhasil apabila masukan merata, menghasilkan output yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pembangunan.

3. Post Test
Pada umumnya pelaksanaan pembelajaran diakhiri dengan post test, post test memiliki banyak kegunaan terutama dalam melihat keberhasilan pembelajaran. Fungsi post test antara lain :
a. Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik secara individu maupun kelompok.
b. Untuk mengetahui kompetensi dasar dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai anak didik dan tujuan-tujuan yang belum dikuasai anak didik. Bagi anak yang belum menguasai tujuan pembelajaran perlu diberikan pengulangan (remedial teaching).
c. Untuk mengetahui peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan remedial maupun yang perlu diberikan pengayaan.
d. Sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik yang telah dilaksanakan.

f. Evaluasi hasil belajar.
Evaluasi hasil belajar dilakukan untuk mengetahui perubahan dan pembentukan kompetensi peserta didik , yang dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, dsb.

g. Pengembangan peserta didik.
Pengembangan peserta didik dapat dilakukan oleh guru melalui berbagai cara, antara lain kegiatan ekstrakurikuler, pengayaan dan remedial, serta bimbingan konseling (BK).

III. PENUTUP

Demikianlah akhir dari makalah ini semoga dari apa yang diuraikan diatas kita mendapatkan sedikit banyak pengetahuan, pencerahan ataupun keinginan untuk dapat menerapkan kompetensi pedagogik dalam rangka menjadi seorang guru yang qualified.




DAFTAR PUSTAKA


- Mulyasa E., Dr., M.Pd., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Jakarta:PT Rosda Karya, 2008.
- Muslich, Masnur, KTSP:Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Jakarta: Bumi Aksara,2007
- Sabri, Alisuf, psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,2007
- Bahri Jamarah, Syaiful, Drs. dan Drs. Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta,2006
- Kunandar, S.Pd, M.Si, Guru professional Implementasi Tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, rajawali Press, 2007.
- Anas Sudiyono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta, 1996
- Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2000
- UU No.14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
- UU No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- PP No 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
*Catatan Kaki
[1] Sabri, Alisuf, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,2007, hal.117

[2] Anas Sudiyono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta, 1996, h.49.
[3] Dr, E Mulyasa, M.Pd, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Jakarta:PT Rosda Karya, 2008,hal.100.
[4] Ibid, hal.102.
[5] Masnur Muslich, KTSP:Dasar Pemahaman dan Pengembangan (Jakarta: Bumi Aksara,2007), hal.45.
[6] Ibid, hal.41
[7] Dr, E Mulyasa, M.Pd, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Jakarta:PT Rosda Karya, 2008, hal.103