1.27.2009

DAMPAK DARI KEPUASAN DAN KETIDAKPUASAN KERJA

DAMPAK DARI KEPUASAN DAN KETIDAKPUASAN KERJA
oleh: Danang Hidayatullah


Maslow (1993:169) menyatakan bahwa tercapainya kepuasan seseorang terhadap sesuatu bukan berarti berhentinya keinginan. Setelah seseorang mendapatkan kepuasan tersebut, maka akan timbul keinginan-keinginan lain yang lebih tinggi untuk dapat dipuaskan. Menurut Maslow keinginan- keinginan yang baru timbul tersebut disertai dengan tingkat frustasi yang lebih tinggi pula, sejalan dengan kegelisahan dan ketidakpuasan lama yang sama.
Dari apa yang dikemukakan Maslow diatas jelas menggambarkan bahwa tidak ada ukuran yang pasti mengenai terpuaskan atau tidak terpuaskannya sesuatu pada diri seseorang. Ini dipengaruhi oleh dua hal yang saling berkaitan. Pertama, dikarenakan kebutuhan dan tingkat kepuasan setiap orang yang berbeda-beda. Kedua, karena ternyata dibalik kepuasan yang dirasa telah didapatkan oleh seseorang, tersembunyi pula rasa ketidakpuasan yang mengindikasikan adanya kepuasan yang lain yang lebih tinggi dan belum terpenuhi. Meskipun kepuasan dan ketidakpuasan pada diri seseorang itu tidak memiliki ukuran yang cukup jelas, namun beberapa pendapat di bawah ini menyebutkan dampak positif dan negatif kepuasan/ketidakpuasan terhadap pekerjaan seseorang.
Strauss dan Sayles (1981:43) memandang kepuasan kerja itu penting bagi pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri seseorang. Menurutnya seseorang yang kepuasan kerjanya tidak terpenuhi tidak pernah mencapai kematangan psikologis, bahkan dapat menyebabkan frustasi. Selain itu, kurangnya kepuasan dalam pekerjaan akan menyebabkan semangat kerja menurun, produktifitas lebih rendah dan menyebabkan lingkungan sosial tidak sehat. Lebih dalam lagi mereka berpandangan bahwa seseorang yang tidak mendapatkan pekerjaan yang memuaskan jarang mempunyai kehidupan yang benar-benar memuaskan. (Strauss & Sayles, 1981:45).
Sebaliknya, jika kepuasan kerja seseorang terpenuhi, menurut Dessler dalam Handoko (1993:194) karyawan tersebut biasanya mempunyai catatan kehadiran yang lebih baik dan kadang-kadang memiliki prestasi kerja lebih baik daripada karyawan yang tidak mendapatkan kepuasan kerja.

Empat cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan robbins, 1998 dikutip dari munandar,367
Diagram diatas menggambarkan bahwa ada empat cara seorang karyawan dalam mengungkapkan ketidakpuasan karyawan, yaitu:
1. Contrustive-destructive, dimana karyawan langsung mengekspresikan ketidakpuasannya dengan cara keluar dari perusahaan.
2. Active-contrustive, dimana karyawan memilih tetap bertahan di perusahaan dengan memberikan saran, kritik dan usaha lain dalam rangka memperbaiki kondisi yang ada.
3. Passive-destructive, dimana karyawan menunjukkan sikap acuh tak acuhnya pada pekerjaan maupun perusahaan tempatnya bekerja.
4. Passive-constructive, dimana karyawan masih menunjukkan loyalitasnya pada perusahaan meskipun dengan cara menunggu secara pasif sambil mengharapkan kondisi kembali normal (stabil) atau bahkan lebih baik.

Sejalan dengan hal diatas, hasil penelitian yang dilakukan Locke (dalam Leslie dan Lloyd :258) menyebutkan pengaruh kepuasan kerja sebagai berikut:
“One relationship that has been clearly established is that job satisfaction does have a positive impact on turnover, absenteism, tardiness, accidents, grievances and strikes.”

Diagram diatas menggambarkan bahwa faktor-faktor penentu kepuasan kerja (kompensasi, desain pekerjaan, kondisi pekerjaan, hubungan sosial antar pekerja, penghargaan, dan lainnya.) dapat berdampak pada tingkat kepuasan atau ketidakpuasan seseorang. Seseorang akan menunjukkan komitmennya untuk tetap loyal pada perusahaan jika kepuasan kerja diperolehnya, sementara ketidakpuasan akan berpengaruh pada keluarnya pegawai, tingkat kehadiran yang rendah, serta sikap negatif lainnya yang mungkin ditimbulkan akibat ketidakpuasan kerja.
Berdasarkan hasil penelitian Locke diatas, Porter dan Steers (Munandar, 365) memiliki pendapat yang sama bahwa keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaan yang disebabkan faktor ketidakpuasan seperti apa yang digambarkan diatas adalah mungkin terjadi. Namun tidak demikian halnya dengan ketidakhadiran yang lebih bersifat spontan, dimana ketidakhadiran seseorang bukanlah akibat dari ketidakpuasan melainkan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.
Adanya korelasi yang signifikan antara kepuasan kerja dengan turnover karyawan juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Mobley, Horner dan Hollingworth (Munandar, 366) yang menunjukkan bukti bahwa kepuasan kerja berkorelasi dengan pemikiran seseorang untuk meninggalkan pekerjaan.
Diagram di bawah ini menggambarkan beberapa tahapan yang dilalui seseorang sebelum mengambil keputusan untuk meninggalkan pekerjaannya akibat tidak terpenuhinya kepuasan kerja.

Dari apa yang dikemukakan diatas mengenai dampak kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap perilaku karyawan dapat disimpulkan bahwa kepuasan pada pekerjaan akan menumbuhkan motivasi seseorang untuk menyenangi pekerjaan itu sehingga pada akhinya akan tumbuh kesadaran dari dalam diri karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Lebih jauh lagi, dengan perasaan senang yang dimiliki dan didukung oleh kuatnya motivasi seseorang dalam bekerja, maka ini merupakan modal penting bagi terciptanya sumber daya manusia yang loyal, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya serta sudah dipastikan mendukung terciptanya kinerjanya ke tingkat yang lebih baik.
Sebaliknya, jika perusahaan tidak dapat memenuhi kepuasan kerja karyawan, maka berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas akan timbul berbagai sikap negatif dari karyawan yang sedikit banyak mempengaruhi terciptanya visi, misi, tujuan, sasaran atau target perusahaan secara efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan produktivitas maupun mempertahankan kinerja pegawai.
Dikarenakan jenis kebutuhan dan tingkat kepuasan kerja karyawan berbeda–beda dan berubah dari waktu ke waktu, maka disarankan agar pihak manajemen dapat mengadakan evaluasi secara simultan dengan memasukkan kegiatan pengukuran kepuasan kerja secara berkesinambungan. Menurut T. Hani Handoko (1993:194) manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja karena hal itu berdampak pada tingkat kehadiran, semangat kerja, keluhan-keluhan karyawan serta masalah personal lainnya.

No comments: