1.27.2009

Faktor Penentu Kepuasan kerja

FAKTOR PENENTU KEPUASAN KERJA
oleh:Danang Hidayatullah

Berdasarkan pendapat para ahli dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sangatlah banyak dan beragam. Ini disebabkan karena jenis kepuasan dan tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda pada setiap karyawan yang dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap kepuasan kerja, apa yang menjadi harapan mereka, kebutuhan mana yang dianggap dapat memenuhi kepuasan kerja serta ada tidaknya peluang untuk memenuhi kepuasan kerja itu sendiri. Leslie dan Lloyd (256) memandang ada lima komponen yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, yang terdiri dari:
1) Sikap teman sekerja
2) Kondisi pekerjaan
3) Sikap perusahaan
4) Benefit atau kompensasi yang didapat
5) Supervisi
Sunyoto Munandar (2001:357) juga menyebutkan jumlah yang sama (lima) mengenai faktor penentu kepuasan kerja, yaitu:
1) Ciri-ciri instrinsik pekerjaan
2) Gaji atau imbalan yang diperoleh
3) Penyeliaan (supervisi)
4) Rekan-rekan sejawat yang menunjang
5) Kondisi pekerjaan
Berbeda dengan dua pendapat diatas, Veitzal Rivai (2005:479) menyebutkan sedikitnya ada tujuh faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seseorang antara lain:
1) Isi pekerjaan
2) Supervisi
3) Organisasi dan manajemen
4) Kesempatan untuk maju
5) Gaji
6) Rekan kerja
7) Kondisi pekerjaan
Dalam menyikapi banyaknya faktor penentu kepuasan kerja ini, Luthan (dalam Husein Umar, 2008:38) menganjurkan untuk melihat faktor-faktor kepuasan kerja dengan mengacu pada JDI (Job Descriptive Index). Menurut indeks ini penyebab kepuasan kerja terdiri dari lima faktor, yaitu:
1) Pembayaran yang sesuai, seperti gaji dan upah
2) Pekerjaan itu sendiri
3) Pomosi jabatan
4) Supervisi
5) Hubungan dengan rekan kerja
Berikut akan dibahas mengenai kelima faktor diatas dalam kaitannya dengan kepuasan kerja seseorang:
1) Pembayaran yang sesuai (gaji, upah, dsb)
Sebagian besar orang masih menganggap bahwa gaji atau imbalan yang diperoleh merupakan simbol dari seberapa besar pengakuan dan penghargaan perusahaan terhadap kemampuan (skill), keahlian (competency), kualitas kinerja, serta kontribusi yang diberikan seseorang dalam pekerjaannya terhadap kemajuan perusahaan. Imbalan dalam bentuk uang –selain sebagai simbol penghargaan seperti disebutkan diatas- juga mempunyai nilai dan arti penting dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang, kebutuhan fisik khususnya Bahkan dalam tingkat sosial tertentu (kalangan menengah keatas, misalnya) orang sudah menempatkan uang untuk memenuhi kebutuhan akan refreshing maupun aktualisasi diri.
Begitu pentingnya imbalan yang diterima seseorang atas pencapaian hasil kerjanya sehingga imbalan yang didapat diharapkan adil dan sesuai dengan apa yang dipersepsikan seseorang. Pada akhirnya, reaksi seseorang terhadap tingkat penerimaan imbalan tersebut dapatlah mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Herzberg seperti dikutip oleh Munandar (361) menjelaskan bahwa jika gaji seseorang dianggap terlalu rendah, seseorang akan merasakan ketidakpuasan. Namun jika dirasakan tinggi atau sesuai harapan maka seseorang itu tidak lagi merasa tidak puas. Ini berarti bahwa faktor gaji yang ditempatkan oleh Herzberg ke dalam faktor hygiene secara nyata mampu menghilangkan ketidakpuasan kerja seseorang.
Sejalan dengan apa yang dijabarkan diatas, Myers dan Schultz mengemukakan bahwa daya tarik salah satu faktor dari pekerjaan seperti upah dapat mempengaruhi cara kerja seseorang dalam kebebasan bekerja, perhatian terhadap peran supervisi, dan lainnya. Kepuasan kerja dapat dilihat jika seseorang yang mendapatkan upah sesuai dengan harapan atau lebih tinggi dan kemudian ia kehilangan pekerjaannya dikarenakan faktor lain, maka seseorang itu lebih mementingkan mendapatkan pekerjaan lain dengan upah yang sama besar atau lebih tinggi nilainya. Ini mencerminkan bahwa kepuasan kerja yang didapat melalui imbalan yang sesuai merupakan salah satu faktor pemuas yang menjadi acuan dan bahan pertimbangan seseorang dalam rangka mencari, menentukan, dan melaksanakan pekerjaan itu sendiri.
2) Pekerjaan itu sendiri
Menurut Locke, ciri-ciri instrinsik dari pekerjan yang menentukan kepuasan kerja seseorang terdiri dari keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggungjawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas (Sunyoto Munandar, 2001:357). Selanjutnya, menurut Munandar (2001:357) berdasarkan survei diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang berkaitan dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan, seperti diuraikan berikut ini:
a) Keragaman keterampilan.
Ciri ini menekankan bahwa semakin banyak keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan suatu pekerjaan, maka akan dapat meminimalisir tingkat kejenuhan seseorang. Selain itu, semakin banyak keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan, maka seseorang akan merasa tertantang dan termotivasi untuk dapat menguasai keterampilan tersebut sehingga ia dapat bekerja sesuai dengan tuntutan pekerjaannya. Menurut Herzberg dalam Gouzali Saydam (2000:246), suatu pekerjaan yang disenangi dan menantang dapat menimbulkan kegairahan seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
b) Jati diri tugas.
Ciri ini mengisyaratkan sejauh mana tugas merupakan sesuatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas dalam sebuah perusahaan akan dianggap berarti dan memiliki nilai yang sama jika tugas tersebut dianggap sebagai satu kesatuan tugas yang tidak dapat dipisahkan dengan pekerjaan secara umum. Contohnya adalah pada perusahaan konveksi, dimana pekerjaan utamanya adalah menyelesaikan pakaian jadi secara utuh. Untuk menghasilkan seperangkat pakaian yang utuh, manajemen perusahan telah membagi pekerjaan tersebut ke dalam beberapa divisi/bagian yang memiliki tugas khusus seperti membuat pola, memotong, menjahit, menyetrika, dan sebagainya. Seseorang dari divisi pemotongan kain misalnya, akan mengalami ketidakpuasan kerja dikarenakan dirinya menganggap bahwa kegiatan memotong kain hanyalah bagian kecil dari pekerjaan yang besar sehingga merasa pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang akan mendapatkan perhatian khusus dari perusahaan.
c) Tugas yang penting.
Jika tugas yang diberikan kepada seseorang itu dinilai berarti dan penting bagi dirinya, maka akan timbul kepuasan kerja. Sebagai contoh seorang yang bekerja sebagai tenaga penjualan yang menganggap bahwa intensitas yang tinggi dalam mengadakan pameran produk dan bertemu kolega adalah kegiatan yang penting dan berarti dikarenakan terdapatnya peluang untuk menjual produk dalam volume yang lebih besar dan praktis.
d) Otonomi, dimana pekerjaan yang memberikan kesempatan, peluang, serta kebebasan dalam bekerja akan lebih cepat meimbulkan kepuasan kerja.
e) Pemberian balikan atau umpan balik yang seimbang atas pekerjaan yang dilakukan dapat membantu meningkatkan kepuasan kerja seseorang.
Keterkaitan ciri-ciri diatas dengan kepuasan kerja seseorang diperkuat oleh pendapat Hackman dan Oldham yang menyatakan bahwa kelima ciri tersebut menimbulkan kondisi psikologis yang kritikal yang mencakup “experienced meaningfulness of the work, experienced responsibility for outcomes of the work dan knowledge of the actual result of the work activities” (Munandar, 2001: 358). Dimana ketiga kondisi ini pada akhirnya akan berpengaruh pada motivasi, unjuk kerja, kepuasan kerja serta tingkat turnover karyawan.
3) Pomosi jabatan
Seorang karyawan yang mendapatkan kesempatan untuk menggapai karir yang lebih tinggi dengan cara diikutsertakan dalam berbagai pelatihan, pengembangan dan promosi jabatan akan merasa dihargai eksistensinya. Penghargaan berupa pengembangan diri untuk meraih prestasi dan jabatan yang lebih tinggi ini akan mempengaruhi tingkat kepuasan seseorang dalam pekerjaan.
4) Supervisi
Dalam hubungannya dengan peran supervisi, Locke membagi hubungan atasan-bawahan menjadi hubungan fungsional dan keseluruhan (Munandar, 2001:361). Hubungan fungsional yang dimaksud adalah hubungan yang lebih bersifat struktrural dimana posisi dalam pekerjaan sangat menentukan apa yang akan dikerjakan dan siapa yang akan mengerjakan suatu pekerjaan. Atasan dilihat oleh bawahan sebagai pimpinan yang harus ditaati dan diperlakukan lebih. Sementara pimpinan melihat bawahan sebagai seorang yang harus siap melakukan apa yang diperintahkan. Hubungan yang kedua, yakni hubungan keseluruhan lebih bersifat umum dimana hubungan yang dibangun dilandasi oleh adanya ketertarikan kepribadian, kesamaan pandangan, nilai, budaya maupun kultur. Menyikapi dua jenis hubungan diatas, selanjutnya Locke berpendapat bahwa kepuasan kerja dapat timbul jika kedua jenis hubungan diatas dapat terjalin dengan baik dan mengarah ke hal yang positif.


5) Hubungan dengan rekan kerja
Faktor ini dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas interaksi sosial antar karyawan yang terjalin dalam lingkungan pekerjaan. Komunikasi yang baik, kerjasama yang positif serta adanya rasa kepedulian antar sesama karyawan akan mempengaruhi tinkat kepuasan kerja seseorang. Bila interaksi yang dibangun mengalami keterpurukan maka dapat dipastikan akan timbulnya ketidaknyamanan dalam bekerja yang berimbas pada kegairahan dalam bekerja, tingkat produktifitas, serta lainnya. Jika hal ini terjadi, maka kepuasn yang diharapkan seseorang akan sulit terwujud.

Demikian kranya yang bisa penulis suguhkan dalam kaitannya dengan faktor penentu kepuasan kerja.

No comments: